Gili Trawangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), menghadapi masalah sampah yang memerlukan penanganan serius. Persoalan sampah di sana hingga kini belum mendapat perhatian yang memadai meskipun Gili Trawangan merupakan salah satu destinasi unggulan di NTB.
Bupati Lombok Utara, Djohan Sjamsu, mengakui produksi sampah di wilayahnya, terutama di Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, sangat besar. "Dalam sehari bisa mencapai belasan ton. Kami berikhtiar untuk menangani sampah ini," ujar Djohan, Minggu (25/8/2024).
Menurut Djohan, jumlah tenaga kebersihan yang dimiliki Pemkab Lombok Utara tidak cukup untuk mengatasi masalah sampah di tiga gili. Selain itu, anggaran yang dibutuhkan untuk menangani masalah ini juga cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan pihak ketiga untuk membantu mengelola sampah di kawasan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada pihak ketiga yang tertarik untuk bekerja sama. Nanti akan ada fasilitas pengolahan sampah. Mudah-mudahan bisa segera terealisasi. Kami berharap ada pihak ketiga yang mengelola, tentu dengan pembagian anggaran yang sesuai," jelasnya.
Djohan juga meminta perhatian dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB dan pemerintah pusat untuk membantu mengatasi masalah sampah ini, mengingat tiga gili merupakan destinasi utama pariwisata di NTB. "Karena ini adalah daerah tujuan utama pariwisata. Jadi, perhatian dari provinsi dan pemerintah pusat sangat diperlukan," ucap Djohan.
Kepala Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wilayah V, Dian Patria, mengungkapkan ada penumpukan sampah setinggi 9,5 meter di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gili Trawangan. Sampah-sampah tersebut tidak bisa lagi diolah di TPA karena keterbatasan kapasitas.
"Jumlah sampah yang dihasilkan saat musim liburan (high season) mencapai 18 ton per hari, sementara pada musim sepi (low season) sekitar 15 ton per hari. Namun, kapasitas pengolahan hanya bisa mencapai 2-3 ton per hari. Artinya, hanya 16 persen sampah yang bisa diproses setiap harinya," kata Dian.
Dian menilai ada perbedaan yang signifikan antara jumlah sampah yang dihasilkan dan kapasitas pengolahannya sehingga menyebabkan penumpukan sampah yang terus meningkat. "Jika tidak segera ditangani, tumpukan sampah akan terus bertambah dan menjadi masalah yang makin sulit diatasi," jelasnya.
Saat kunjungan KPK ke Gili Trawangan baru-baru ini, Dian menemukan masih banyak botol plastik yang disortir secara manual oleh petugas. Sementara, untuk sampah yang bisa didaur ulang, seperti botol kaca dan sampah organik, dipisahkan menggunakan mesin conveyor. Namun, sampah yang tidak bisa didaur ulang langsung dibuang ke TPA. Bahkan, di bibir pantai masih banyak sampah yang belum diangkut dan hanya ditutupi plastik agar tidak berantakan.
"Ini tidak elok, sampah belum diangkut dan hanya ditutup plastik. Bisa saja sampah itu terbawa ke laut, padahal di sana banyak wisatawan. Bagaimana jika wisatawan kapok karena pantainya kotor?" kata Dian.
Baca juga: Air Bersih di Gili Trawangan Mengalir Lagi |
Di sisi lain, temuan KPK ini cukup disayangkan, mengingat skor Monitoring Center for Prevention (MCP) Lombok Utara pada 2023 berada di angka 85 persen, yang masuk dalam kategori terjaga. Namun, masih ada masalah dalam implementasi tata kelola keberlangsungan pemerintahan oleh Pemkab Lombok Utara.
KPK menekankan pentingnya pembenahan dalam pengelolaan sampah, bukan hanya untuk pelestarian keindahan alam, tetapi juga untuk mendukung keberlanjutan pariwisata demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika masalah ini tidak segera diatasi, dikhawatirkan wisatawan akan enggan berkunjung, yang pada akhirnya dapat menurunkan PAD.
KPK juga mendorong agar Pemkab Lombok Utara dan pihak terkait segera mengalokasikan anggaran yang memadai untuk perbaikan fasilitas dan alat pengolahan sampah. "Kami berharap langkah-langkah ini dapat segera diimplementasikan demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan pariwisata di Gili Trawangan," tandas Dian.
(iws/iws)