Warga Lereng Gunung Lewotobi Kembar 'Berdamai' dengan Hujan Abu Vulkanik

Flores Timur

Warga Lereng Gunung Lewotobi Kembar 'Berdamai' dengan Hujan Abu Vulkanik

I Wayan Sui Suadnyana, Arnoldus Yurgo Purab - detikBali
Sabtu, 13 Jul 2024 17:01 WIB
Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, NTT, meletus, Kamis (11/7/2024). (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali)
Foto: Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, NTT, meletus, Kamis (11/7/2024). (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali)
Flores Timur -

Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), terus bergemuruh. Gunung kembar itu hampir setiap hari menumpahkan abu vulkanik ke udara hingga menghujani apapun yang berada di bawahnya. Walhasil, warga di lereng Gunung Lewotobi kembar harus berdamai dengan hujan abu vulkanik yang terjadi hampir saban hari.

Abu si gunung kembar kembali menghujani warga pada Kamis (11/7/2024). Gunung Lewotobi Laki-laki saat itu erupsi sekitar pukul 14.05 Wita dengan ketinggian kolom abu 700 meter.

Abu vulkanik terlihat jelas pada pekarangan rumah, kebun, atap seng hingga badan jalan. Semuanya kelihatan serba putih. Jalan hingga perumahan warga terpapar abu vulkanik yang sangat tebal. Debu beterbangan ke mana-mana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menariknya, warga di lereng Gunung Lewotobi Laki-laki tampak beraktivitas seperti biasa meski hujan abu vulkanik menerjang. Mereka tetap memberi makan ternak, menyiangi rumput di sawah, hingga berjualan.

Anak-anak di Desa Klatanlo, Dulipali, dan sekitarnya juga tengah asyik bermain. Tak ada keresahan di wajah mereka. Sayang, anak-anak itu tak mengenakan masker meski abu vulkanik terus jatuh di sana.

detikBali juga mendapati tenda-tenda yang dibuat warga menjelang pesta penerimaan komuni suci pertama (sambut baru) dalam tradisi Gereja Katolik di sana. Tenda itu dibangun di beberapa titik di Desa Klatanlo, Desa Dulipali, dan sekitarnya.

Jalan menuju Desa Klatanlo penuh dengan abu vulkanik. (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali)Foto: Jalan menuju Desa Klatanlo penuh dengan abu vulkanik. (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali)

Meski beraktivitas seperti biasa, warga tetap terjaga pada malam hari. Warga penghuni kampung berteriak bersahut-sahutan dari rumah ke rumah untuk membangunkan tetangga saat erupsi terjadi.

"Hogo, hogo (bangun-bangun)," kata Maria Mono Ema (67), warga Desa Dulipali, meniru teriakan setiap malam jika terjadi erupsi kepada detikBali, Kamis (11/7/2024).

Setelah bangun malam itu, lanjut Maria, semua memandang situasi Gunung Lewotobi Laki-laki. Mereka kembali tidur setelah situasinya sedikit aman.

Warga yakin selama pepohonan di lereng gunung masih hidup, tidak akan terjadi apa-apa. Mereka harus menjauh atau mengungsi kalau pohon-pohon sudah hangus dan mati.

"Nenek moyang bilang kalau dulu rusa masuk kampung dan pohon kering di kaki gunung itu pertanda tidak baik," kata Juan Tukan, warga Dulipali.

Tanda itu membuat Juan yakin tidak mengungsi saat erupsi terjadi. Padahal keluarganya sudah mengungsi dari jauh-jauh hari. Juan tetap tinggal di rumahnya di Dulipali karena percaya kampung tidak boleh ditinggal kosong oleh seluruh penghuninya.

Warga yang menetap di lereng Gunung Lewotobi Laki-laki akan berteriak dengan seruan 'kami di sini' saat bencana datang. Kebiasaan berteriak untuk menyapa nenek moyang itu juga dilakukan saat gunung api tersebut meletus.

"Teriakan itu bermaksud meminta (kepada) nenek moyang jaga dan jauhkan kami dari marabahaya," kata Kor Liwun, warga Desa Boru, Minggu (23/6/2024). Sembari meneriakkan 'kami di sini', warga juga memukul bunyi-bunyian saat gunung tengah erupsi.

Pengamat sosial di Flores Timur, Januar Lamabelawa, menyebut teriakan 'kami di sini' sebagai salah satu respons darurat secara kultural. Menurutnya, ungkapan tersebut juga menunjukkan warga di lereng Gunung Lewotobi Laki-laki sebagai bagian dari alam.

"Artinya mereka (masyarakat) percaya bahwa gunung (personifikasi sebagai orang) mendengar teriakan itu dan tidak menyasar mereka," imbuhnya.

Meski warga hidup selaras alam, mereka juga masih membutuhkan bahan makanan serta air minum. Sebab, hujan abu terus jatuh ke pemukiman mereka dan hampir pasti sayuran tidak bisa dijual dan dimakan.

"Prioritas air minum, penutup mata. Kalau masker masih ada stok," kata Kepala Desa Klatanlo, Petrus Muda Kurang.

Petrus mengungkapkan warga membutuhkan air mineral. Sementara air untuk kebutuhan mandi dan mencuci hingga kini masih mencukupi.

Kehidupan warga di lereng Gunung Kembar Lewotobi memperlihatkan ketangguhan dan keharmonisan mereka dengan alam. Meski menghadapi tantangan dari alam yang keras, mereka terus bertahan, menjaga tradisi, dan tetap beraktivitas dengan semangat kebersamaan.




(hsa/hsa)

Hide Ads