Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai daerah dengan toleransi umat beragama cukup baik. Jejak-jejak toleransi itu salah satunya terlihat di tempat pemakaman umum (TPU) Kampung Langgo, Desa Wae Lolos, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat.
"Keluarga yang telah meninggal baik yang beragama Katolik maupun Islam dikuburkan di TPU Langgo. Dari tata letak kuburan tersebut bisa diketahui warga di kampung ini sangat menghargai kamajemukan dan keberagaman," ujar warga Kampung Langgo, Robert Perkasa, Minggu (17/3/2024).
Kampung Langgo merupakan salah satu kampung tua di Manggarai Barat. Kampung ini berada di puncak bukit. Hutan ulayat 'puar Langgo', pegunungan, hingga lahan perkebunan warga membentang hijau di sekelilingnya. Di sisi utara kampung tua ini tampak satu rumah adat menjulang tinggi. Di depan rumah adat itu terdapat sebuah Compang (mesbah tempat sesajian saat menggelar ritual adat) tersusun rapi dari batu-batu alam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kampung Langgo inilah yang pertama dijumpai ketika memasuki wilayah Kecamatan Sano Nggoang dari Labuan Bajo. Lokasinya ditempuh sekitar satu jam perjalanan darat dari Labuan Bajo. Anda bisa menjumpai TPU itu sebelum memasuki Kampung Langgo.
"Di pintu masuk kampung kita bisa melihat deretan kubur yang tertata rapi, baik untuk yang beragama Katolik maupun Islam," ujar Robert.
Ia mengatakan kuburan untuk umat Katolik dan Islam di TPU itu tidak dibuat terpisah. Umat Katolik yang meninggal dunia bisa dikuburkan bersebelahan dengan kuburan umat muslim. Begitupun sebaliknya. "Berbaur saja," kata Robert.
Terdapat 13 Kepala Keluarga (KK) beragama Islam di Kampung Langgo. Puluhan KK lainnya beragama Katolik. Dalam kehidupan sehari-hari mereka berbaur. Tak ada sekat. Saat ada ritual adat di Kampung Langgo, semua terlibat. Robert mengatakan orang Langgo, baik Muslim maupun Katolik, berasal dari leluhur yang sama.
"Kami hidup berdampingan di Kampung Langgo dari dulu kala sampai sekarang. Kami berasal dari garis keturunan dan suku yang sama, yaitu Suku Mawu. Tidak ada pendatang dari luar kecuali karena hubungan kawin mawin," terang Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Wae Lolos tersebut.
"Dalam acara, ritual dan kegiatan apapun di kampung, kami bersama-sama, baik dalam suka maupun duka. Termasuk dalam acara Hari Raya Natal, Paskah, dan Lebaran," lanjut Robert.
Kendati berbaur dan terlibat dalam berbagai ritual adat dan kegiatan lainnya di Kampung Langgo, mereka memperhatikan dengan baik penyajian makanan jika ada menu daging babi. Jika ada menu daging hewan yang dilarang dimakan umat Muslim, itu disiapkan di tempat terpisah.
"Kalau acara makan, kami siapkan dua tempat berbeda. Begitu saja pengaturannya," jelas Robert.
Lebih lanjut Ia mengatakan toleransi antarumat beragama di Kampung Langgo juga dipertegas dengan letak tempat ibadah masing-masing agama yang berhadapan. "Letak gereja dan masjid saling berhadapan, jaraknya sekitar 300-an meter," tandas Robert.
(dpw/dpw)