Kemarau Panjang Bikin Harga Anjlok, Petani Garam di Flores Timur Menjerit

Kemarau Panjang Bikin Harga Anjlok, Petani Garam di Flores Timur Menjerit

Arnoldus Yurgo Purab - detikBali
Rabu, 04 Okt 2023 22:30 WIB
Tempat pembuatan garam di Kolidatang, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (NTT). (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali)
Foto: Tempat pembuatan garam di Kolidatang, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (NTT). (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali)
Flores Timur -

Kemarau panjang yang melanda Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), belakangan ini menyebabkan harga garam di Flores Timur turun drastis. Petani garam harus menanggung rugi Rp 10 ribu per kilogram.

"Karena musim kemarau harga pasar garam murah. Kalau musim hujan harga naik Rp 20 ribu per kilo. Tapi kalau musim kemarau satu kilogram harganya Rp 10 ribu," ujar seorang petani garam bernama Petronela Sodi Aran, warga Kolidatang, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur saat ditemui detikBali di lokasi pembuatan garam, Rabu siang (4/10/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tempat pembuatan garam di Kolidatang, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (NTT). (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali)Tempat pembuatan garam di Kolidatang, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (NTT). (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali) Foto: Tempat pembuatan garam di Kolidatang, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (NTT). (Arnoldus Yurgo Purab/detikBali)

Perempuan berusia 48 tahun itu mengatakan dalam sehari bisa tiga kali memasak garam. Dari tiga kali memasak garam, dia bisa menghasilkan garam satu ember berukuran kecil atau lebih dari itu.

"Perempuan orang sini kerjanya itu. Jadi itu ada tikar. Yang di atasnya itu ada tanah dan air, nanti di bawahnya ada bak tempat tampung air," jelas Petronela sambil menunjukkan tempat pembuatan garam.

ADVERTISEMENT

Di tempat yang berbeda, detikBali menyambangi petani garam lainnya, Katarina Werang (59). Ia terlihat sedang duduk mengaduk api guna memanaskan garam miliknya.

Tampak kobaran api yang menjilat tungku miliknya terlihat semakin memanas. Di sebelah tempat dia bekerja, ada sebuah gubuk kecil tak beratap.

Gubuk itu beralaskan daun kelapa, tempat Katarina berteduh setelah mengaduk-aduk garam miliknya. "Sehari tiga kali masak. Capek juga, tapi diam saja kah No (sapaan bagi laki-laki)," ujarnya.

Katarina mengatakan saat musim hujan datang, mereka tidak bisa memasak garam. Tapi harga garam saat itu melambung dan dihargai per kilogramnya Rp 20 ribu.

"Berarti bulan 11 musim hujan mama mereka tidak masak (garam)," ujarnya.

Untuk itu, kata dia, stok garam yang dibuat musim kemarau akan dijual pada saat musim hujan. Sebab, pada musim hujan, mereka tidak bisa bekerja karena semua permukaan tanah basah.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads