Sebanyak 110 ekor hiu paus (whale shark) di Teluk Saleh, Desa Labuan Jambu, Kecamatan Tarano, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), terancam punah. Di Teluk Saleh, bahkan populasi hiu paus memiliki geografi kritis untuk siklus hidup, termasuk makan, pembibitan, dan migrasi.
Padahal, keberadaan hiu paus di Teluk Saleh berdampak ekonomi bagi sektor pariwisata masyarakat setempat dalam lima tahun terakhir.
Baca juga: Hiu Tutul Mati Terdampar di Pantai Jembrana |
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Konservasi Indonesia (KI), nilai ekonomi dari ekowisata hiu paus berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat di Desa Labuan Jambu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persis satu tahun setelah ekowisata dibuka pertama kali pada 2018, pengeluaran wisatawan untuk melihat hiu paus mencapai Rp 327 juta pada 2019.
Senior Program Director Konservasi Indonesia Fitri Hasibuan mengatakan dampak ekonomi langsung bagi masyarakat Desa Labuan Jambu pada 2019 itu sebesar 47 persen. Sementara, dampak ekonomi tidak langsung sebesar 38 persen, dan dampak ekonomi lanjutannya mencapai 15 persen.
"Ada 705 anggota masyarakat sekitar yang terdampak langsung dari ekowisata hiu paus," ungkap Fitri setelah menandatangani nota kesepahaman rencana aksi kolaborasi ekowisata hiu paus dengan Bupati Sumbawa Mahmud Abdullah di Kantor Bupati, Sumbawa, NTB, Selasa (29/8/2023).
Adapun, 705 orang tersebut, lanjut Fitri, bekerja di 50 unit usaha yang berbeda-beda, mulai dari penyewaan mobil, pemandu wisata, souvenir, pertunjukan seni, penyewaan alat diving dan snorkeling, transportasi perahu lokal, serta bagan perikanan yang digunakan sebagai media pengamatan hiu paus.
Hal ini mengonfirmasi bahwa pariwisata membawa dampak ekonomi yang besar, tidak hanya di kawasan, tetapi juga di luar kawasan. Data menunjukkan wisatawan yang melalui jalan darat untuk menyambangi hiu paus di Teluk Saleh membawa dampak ekonomi Rp 96 juta di Kota Sumbawa.
Sedangkan, wisatawan yang menggunakan transportasi udara untuk mencapai Sumbawa telah menghasilkan transaksi tiket pesawat hingga Rp 180 juta per tahun.
Angka itu belum memperhitungkan pengeluaran wisatawan hiu paus dari luar negeri di Desa Labuan Jambu yang diperkirakan sebesar Rp 17,74 miliar.
Karenanya, Mahmud Abdullah mendorong ekowisata hiu paus dapat melindungi sumber daya laut dengan bijak. Salah satu caranya dengan mendukung konservasi hiu paus yang digagas Konservasi Indonesia.
"Sebab, hiu paus di Teluk Saleh ini merupakan magnet utama yang sangat berharga bagi Sumbawa dan tak ternilai harganya," terang Mahmud.
Pasang Penanda
Saat ini, model konservasi yang dilakukan Konservasi Indonesia terhadap hiu paus di Teluk Saleh adalah memasang penanda (tagging) di sirip ikan. Dari total 110 ekor hiu paus yang terekam di perairan Teluk Saleh, 25 di antaranya telah dipasang penanda.
Lewat penanda, Konservasi Indonesia mampu menghimpun informasi yang diperlukan untuk kebutuhan penelitian. Penelitian termasuk juga untuk mengetahui populasi hiu paus, upaya perlindungan dan kelangsungan hidup spesies, pelestarian dengan pengawasan dan mitigasi ancaman, serta pemanfaatan non-ekstraktif atau wisata berkelanjutan.
Apalagi, Fitri menyebut secara global, biologi, maupun perilaku, pola pergerakan hiu paus masih misteri. Hiu paus juga dikenal hewan yang kerap bermigrasi. "Informasi ini sangat penting untuk melindungi populasi dan pengembangan ekowisata berbasis hiu paus," terang dia.
Tantangannya, kata Fitri, untuk memasang penanda pada hiu paus dibutuhkan pendanaan yang cukup besar. Misalnya, ia merinci alat tagging yang dipasang pada setiap hiu paus memakan biaya 4.200 dolar AS. "Itu baru alatnya. Belum ongkos pemasangannya, operasionalnya, transportasinya, hingga monitoring data."
Tantangan lainnya, Fitri menambahkan, hukum dan tata Kelola. Pun demikian, Fitri mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Sumbawa yang memiliki inisiatif untuk menggerakkan konservasi. Hanya saja, ia mencatat perlu rencana aksi untuk konservasi hiu paus agar berkelanjutan.
(hsa/gsp)