Para pegiat atau perajin kain tenun khas Pulau Lombok terus berupaya melestarikan warisan budaya kepada anak cucu. Para pegiat kain dari berbagai kalangan di Pulau Lombok pun berinisiatif membangun mini museum tenun atau kain tenun khas Lombok yang diresmikan di Museum Mini Taman Budaya NTB di Mataram.
Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi NTB, Niken Saptarini Widyawati Zulkieflimansyah mengatakan, persemaian Mini Museum Tenun khas Pulau Lombok ini merupakan langkah digitalisasi untuk merawat warisan budaya karya dari tangan perempuan-perempuan suku Sasak.
"Saya tidak mau panjang lebar. Digitalisasi harus bisa beradaptasi. Kain tenun ini memang butuh penjelasan kepada publik bagaimana proses pembuatan dan jenisnya. Ke depan pemerintah provinsi akan membuatkan aplikasi tenun," kata istri Gubernur NTB ini, Minggu (25/12/2022) di Mataram.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Niken, peresmian Mini Museum Mini Tenun khas Pulau Lombok nantinya menjadi salah satu wadah edukasi masyarakat. Selain itu, juga sebagai bahan edukasi para wisatawan yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kain tenun khas Lombok.
"Di sini bisa menjelaskan motif apa, di mana bisa dipaparkan sebuah produk yang bisa dipakai di sini. Ini nanti terintegrasi dengan pakaian-pakaian tenun kita," kata Niken.
Penggagas Mini Museum Tenun dari Komunitas Gema Alam Lumbung Sensek Desa Sukarare dan Konsorsium Adara Irma Septiana mengatakan, pembentukan museum mini benang tenun ini tidak lain untuk merawat cerita tenun yang dilakoni para perempuan suku Sasak.
Seluruh kain tenun karya perempuan suku Sasak Lombok itu juga memiliki nilai dan makna. Bahkan kata Irma, menenun kain memiliki proses yang panjang dan mendalam.
"Kita tahu ada cerita di dalam kain tenun. Ini menjadi milik masyarakat di desa penenun itu sendiri. Kami melihat edukasi tentang tenun ini minim. Inilah kenapa kita butuh edukasi tentang proses menenun. Ada edukasinya tentang cerita di balik kain tenun di mini museum tenun ini," katanya.
Menurut Irma, mini museum ini akan dikenalkan ke masyarakat luas. Selain itu, mini museum tenun ini sekaligus menjadi referensi wisatawan yang minim akan pengetahuan tentang kain tenun dan proses menenun.
"Mini museum bisa mengubah mindset orang yang tidak memahami tentang tenun kita. Mereka butuh informasi. Tidak sampai membuat mini museum saja ya, tapi kami menulis tentang tenun itu. Kita aplikasikan lewat mini museum," katanya.
Salah satu yang berperan dalam pembuatan mini museum tenun Lombok, Fitri Rachmawati dari pendiri Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) Mataram mengatakan, mini museum merupakan salah satu wujud menjaga tradisi melalui gerakan literasi.
Menurut Fitri, pembentukan mini museum tenun sendiri dilakukan untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membahasakan ke generasi muda bahwa tradisi tenun mesti diteruskan, tak sekadar dijaga dan dirawat.
"Kenapa dinamakan mini museum tenun karena berada di ruang kecil yang menampilkan secara visual motif-motif tenun yang hadir di masyarakat sebagai sebuah karya seni turun temurun," katanya.
Dalam tampilan mini museum tenun ini akan dimunculkan code QR (quick respond) yang menghubungkan dengan media sosial para penenun. Sehingga strategi pemasaran berbasis platform digital, tergambarkan dalam mini museum ini.
"Secara bertahap para penenun dan kelompoknya akan membuat cerita atau story tentang motif tenun yang ditampilkan. Sehingga siapapun yang melihat motif dalam mini museum itu akan mendapatkan pengetahuan lebih dalam terkait tenun Sasak yang ingin mereka miliki," katanya.
Selain mengenalkan pecinta tenun yang beragam motif, mini museum ini merupakan salah satu upaya membangun gerakan literasi budaya. Langkah ini juga akan mengedukasi masyarakat tidak hanya sebagai konsumen yang faham dalam memilih tenun yang mereka inginkan. Bahkan, juga melatih masyarakat terlibat dalam gerakan literasi budaya.
"Jadi mini museum tenun ini adalah gerakan literasi merawat tradisi. Kita perlu lestarikan sejarah benang dan peran perempuan dalam hal membuat kerajinan tenun," pungkasnya.
(irb/hsa)