Pengamat Minta Pemprov Patuhi Surat Menteri LHK soal Tarif TN Komodo

Manggarai Barat

Pengamat Minta Pemprov Patuhi Surat Menteri LHK soal Tarif TN Komodo

Yufen Ernesto - detikBali
Kamis, 24 Nov 2022 17:59 WIB
Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno menanggapi kenaikan tarif masuk kawasan TN Komodo saat Weekly Press Briefing, di Gedung Sapta Pesona, Senin (11/7/2022). Menparekraf mengatakan kenaikan tarif masuk kawasan untuk biaya konservasi jasa ekosistem.
TN Komodo. Foto: Kemenparekraf
Kupang -

Pengamat Kebijakan Publik NTT Habde Adrianus Dami menilai penetapan retribusi Taman Nasional (TN) Komodo Rp 3,7 juta bertentangan dengan aturan dana akan berdampak pada berkurangnya kunjungan wisatawan. Menurutnya, Pemprov NTT harus menghormati dan mengikuti arahan surat Menteri Siti Nurbaya.

"Pemprov NTT mesti melihat dulu dasar hukum terkait hak pengelolaan itu ada pada siapa," ujarnya saat diwawancarai detikali, Kamis (24/11/2022).

Berkaitan surat Menteri LHK tersebut, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, artinya Pergub yang mengatur tarif masuk TN Komodo tidak boleh bertentangan dengan UU dan PP tentang PNBP.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, mengacu pada regulasi, baik Undang-undang (UU) maupun Peraturan Pemerintah (PP), hak pengelolaan TN Komodo ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga dibentuklah Unit Pelaksana Teknis (UPT). Implikasi hak pengelolaan otoritas ada di tangan Kementerian LHK, maka seluruh aset administrasi, keuangan, dan hal teknis harus dari kewenangan pemerintah pusat bukan daerah.

"Dalam otonomi daerah desentralisasi kewenangan daerah tidak termasuk TN Komodo, ini seolah-olah memberi kesan kepada masyarakat bahwa pengelolaan itu ada dua pihak antara pemerintah pusat melalui UPT dan pemerintah daerah melalui PT Flobamor," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Habde menegaskan, peraturan tarif masuk harus dikaji agar dasar hukumnya jelas. Polemik yang terjadi saat ini akan menimbulkan dualisme pengelolaan, walaupun ada pernyataan kerja sama tetapi Pemprov melalui PT Flobamor seperti mengambil alih, sehingga penentuan tiket masuk itu naik dan justru merusak citra pariwisata di Indonesia.

Dia mengungkapkan alasan para pelaku pariwisata di Labuan Bajo menolak retribusi tersebut, karena tarif Rp 3,7 juta atau Rp 15 juta per paket berdampak pada kelas-kelas wisatawan lokal yang tidak bisa menjangkau.

"Siapa yang berani masuk kalau tarifnya mahal begitu," kata Habde.

Tidak heran, lanjut Habde, jika akan terjadi penurunan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara karena penerapan tarif tersebut. Asumsi pemerintah menetapkan paket empat orang Rp 15 juta untuk satu tahun, justru mengurangi kunjungan dan memberikan dampak berantai bagi pelaku-pelaku usaha ekonomi di Labuan Bajo padahal harapannya pariwisata mampu menghidupi sektor-sektor lain.

"Tarif itu harus disesuaikan oleh Pemprov berdasarkan kebutuhan para kunjungan karena mereka pasti gunakan jasa transportasi dari daerah asal ke Labuan Bajo," pungkas Habde.




(irb/hsa)

Hide Ads