Terungkap! Faktor Penyebab Perkawinan Anak di Desa Jenggik Utara NTB

Terungkap! Faktor Penyebab Perkawinan Anak di Desa Jenggik Utara NTB

Tim detikBali - detikBali
Minggu, 04 Sep 2022 22:45 WIB
Kepala Desa Jenggik Utara Nasri.
Foto: Kepala Desa Jenggik Utara Nasri. (Ahmad Viqi/detikBali)
Lombok Timur -

Setelah melakukan beberapa kali advokasi kepada anak-anak yang menikah di Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, NTB, Minhatul Aulaq alias Minha menemukan sejumlah faktor penyebab perkawinan di usia rentan. Di antaranya ialah karena pergaulan, penggunaan media sosial, dan pola asuh orang tua. Di akhir tahun 2021, ada 14 kasus pernikahan anak.

"Beberapa teman saya itu merasa kurang perhatian dari kedua orang tua, ini khusus untuk laki-laki. Jadi kadang mereka mikir ketika sudah menikah istirnya yang akan mengurus dia," kata Minha, Sabtu (3/9/2022).

Selain kedua faktor tadi, anak-anak di Desa Jenggik Utara juga terkadang terbawa arus pergaulan bebas. Bahkan kata Minha, beberapa kasus yang sudah didampingi hingga dibawa ke salah satu forum anak di Denpasar, Bali, awal 2022 lalu, ternyata anak-anak dipaksa menikah dengan status hamil di luar nikah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi ada memang anak yang dipaksa. Bahkan kalau sudah begitu kasusnya. Itu memang dilema, anaknya sudah hamil, terus dipaksa menikah. Ini terpaksa dinikahkan karena untuk menutup aib keluarga," tuturnya.

Dari keterangan beberapa orang tua, Minha menemukan ada faktor lain yang menyebabkan anaknya dipaksa menikah.

ADVERTISEMENT

"Jadi ada pikiran orang tua yang bilang, kalau anaknya tidak menikah nanti tidak bisa mikir dewasa. Itu kita temukan karena orang tua tidak mau membiayai pendidikan anak karena faktor ekonomi," tutur Minha.

Akibatnya banyak anak-anak yang menikah usia dini di Desa Jenggik Utara terpaksa memilih menjadi PMI merantau ke luar negeri. Hal itu terpaksa dilakukan karena orang tua sudah melepas tanggung jawab kepada anak-anaknya yang menikah di bawah usia 20 tahun.

"Karena kita di pedesaan ya, sekolah itu belum dianggap penting oleh orang tua. Orang tua bahkan menganggap selesai sekolah kamu harus mencari uang ke luar negeri. Jadi bagaimana kami akan mencegah itu?" ujar Minha.

Berasal dari keluarga broken home, Minha menceritakan orang tuanya telah bercerai sejak dia berusia di bawah 5 tahun. Kondisi itu membuat Minha bercita-cita untuk menghapus angka pernikahan anak yang cukup tinggi di desanya. Bahkan Minha sengaja mengambil jurusan Bimbingan Konseling di Universitas Hamzanwadi Lombok Timur agar bisa memberikan bimbingan aktif kepada anak-anak di Desa Jenggik Utara.

"Ada banyak yang memotivasi saya. Pertama lingkungan, teman-teman SD saya dulu kebanyakan sudah menikah. Inilah yang mendorong saya untuk melakukan advokasi itu," ujar Minha.

Selain itu, kebanyakan anak-anak di Desa Jenggik Utara membantu orang tua sebagai petani. Bahkan, beberapa anak di Desa Jenggik Utara aktif membantu orang tua pergi ke sawah hingga berkebun.

"Jadi memang kebanyakan anak di sini memang diajar menjadi petani. Tapi pada dasarnya saya berharap tidak ada lagi perkawinan anak di desa saya," kata Minha.

Baiq Zuhriyati (53) ibu dari Minha, yang juga aktif melakukan advokasi menekan angka perkawinan anak sejak tahun 1970 mengaku banyak orang tua meninggalkan anak-anaknya berangkat menjadi PMI ke luar negeri selama bertahun-tahun. Hal itu pun menjadi faktor utama penyebab tingginya angka perkawinan anak.

Selain itu, perkawinan anak yang marak terjadi di Desa Jenggik Utara ini karena kurangnya faktor pola asuh dari kedua orang tua. Biasanya, korban perkawinan anak ini banyak dari kalangan anak-anak PMI yang merantau ke luar negeri.

"Jadi banyak anak PMI ini ditinggal ke luar negeri. Buktinya, Minha tidak diurus oleh bapaknya karena pergi ke luar negeri. Jadi banyak memang anak yang ditelantarkan ke luar negeri," katanya.

Jadi PMI adalah Pilihan

Kepala Pelayanan Desa Jenggik Utara Suparni menjelaskan terkait fenomena maraknya kasus perkawinan anak di desa karena banyaknya warga yang memilih berangkat keluar negeri dan meninggalkan anak-anaknya.

Bahkan dari hasil pendataan, bukan hanya orang dewasa, banyak kalangan anak di bawah umur di desanya berangkat menjadi PMI keluar negeri. Dalam data terbaru kata Suparni, sekitar 365 jumlah PMI aktif yang masih berada di luar negeri asal Desa Jenggik Utara tahun 2022.

Fenomena menjadi PMI keluar negeri itu lanjut dia, karena maraknya angka perkawinan anak di Desa Jenggik Utara.

"Jadi fenomena itu dulu, banyak usia anak dipalsukan agar bisa berangkat ke luar negeri secara ilegal. Itu terjadi. Tapi, saat ini kita sudah dibuatakan aturan dalam Perdes sejak tahun 2010. Jadi ada satu kasus yang melatarbelakangi penerbitan Perdes nomor 3 tahun 2010 itu. Ada anak menikah kemudian berangkat menjadi PMI ke Malaysia secara ilegal," kata Suparni.

Dalam Perdes yang mengatur tentang Perlindungan dan Pemberdayaan PMI yang dibuat Desa mulai diberlakukan sejak adanya kasus anak yang diberangkatkan menjadi PMI ke Malaysia masih di bawah umur. Dalam aturan itu, semua warga yang ingin menjadi PMI di Desa Jenggik Utara mulai diperketat.

"Jadi kalau ada janda atau duda yang mau berangkat juga sebelum 4 bulan, kami larang untuk berangkat. Apalagi untuk perempuan, dalam masa iddah itu dilarang bepergian ke luar negeri. Apalagi anak-anak. Kalau mau berangkat harus mendapat rekomendasi dari keluarga diserahkan ke Desa," katanya.

Data tahun 2010 lalu, dari 2.022 kepala keluarga di Desa Jenggik Utara itu hampir 99,9 persen PMI asal Desa Jenggik Utara berangkat ke luar negeri melalui jalan non prosedural. Salah satu penyebabnya maraknya warga menjadi PMI ilegal kata Suparni faktor masalah ekonomi keluarga.

"Sebagian besar di sini laki-laki yang menjadi PMI. Tapi setelah ada Perdes itu. Kerangkatan PMI non prosedural itu bisa kita tekan," kata Suparni.

Maraknya pemberangkatan PMI ilegal di Desa Jenggik Utara, diakibatkan seluruh berkas diurus oleh tekong atau calo. Sebelum pemekaran dari Desa Jenggik induk, seluruh pengurusan berkas PMI diurus oleh para tekong atau calo.

"Jadi seluruh syarat waktu itu diurus oleh tekong. Tapi alhamdulillah sekarang dari tahun 2010 itu, sudah mulai diperketat. Penyebab lain juga karena kesulitan mencari pekerjaan di desa," katanya.

Kepala Desa Jenggik Utara Nasri pun menyebutkan bahwa saat ini desanya menjadi salah satu pilot projek pemberangkatan PMI secara legal di Lombok Timur. Meski demikian kata Nasri sejak tahun 2018 hingga 2022 ini hampir setiap hari pemerintah desa menerima surat rekomendasi pemberangkatan PMI dari warganya.

"Sekarang kita mulai perketat sesuai aturan Perdes dan pemerintah. Anak di bawah umur itu wajib hukumnya dilarang berangkat ke luar negeri. Tidak ada toleransi," kata Nasri.

Nasri pun mengaku dengan adanya forum anak yang digagas oleh Minha bersama belasan anak-anak di Desa Jenggik Utara ke depan bisa lebih mendengar kebutuhan-kebutuhan pendidikan anak. Selain itu, dengan adanya forum anak tersebut dipercaya bisa menekan angka perkawinan anak di desa.

"Jadi ketika ada program ini, itu juga secara langsung bisa menekan pengiriman PMI secara ilegal dari kalangan anak-anak di Desa Jenggik Utara," pungkas Nasri.




(kws/kws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads