Pasangan suami istri (pasutri) penjual sayur, Putu Prasuta (27) dan Ni Wayan Diantari (27), dituntut sembilan bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar atas kasus dugaan pencurian peralatan katering. Kasus itu berawal dari masalah utang-piutang. Yakni, Prasuta dan Diantari berupaya menagih utang sebesar Rp 10,4 juta kepada seorang pemilik usaha katering, Ety Yulia Susanti.
Terungkap dalam dakwaan, kasus ini bermula pada Jumat (20/9/2024) malam. Saat itu, kedua terdakwa datang ke tempat usaha katering milik Ety untuk menagih utang. Di sana keduanya bertemu dengan Yanti Juwita Harefa (saksi) istri dari Bayu Kristiawan, pengelola katering.
Yanti sempat melarang pengambilan barang. Namun, Diantari tetap ingin mengambil barang yang ada di gudang. "Kalau Ety sudah bayar utangnya, ambil barangnya di gudang saya," kata Diantari sebagaimana tertuang dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Ni Komang Swastini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Barang-barang tersebut lalu diangkut ke mobil pikap Mitsubishi Colt DK 8788 AM dengan bantuan dua orang saksi atas perintah terdakwa untuk selanjutnya disimpan di garasi dekat rumah kos Prasuta. Atas kejadian itu, usaha katering saksi sempat terhenti beberapa hari hingga membuat kerugian sekitar Rp 7 juta.
JPU lalu mendakwa jika pasutri melakukan seperti tertuang dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan, dengan ancaman maksimal tujuh tahun penjara.
Sebelumnya, penasihat hukum terdakwa dari LBH Taksu Bali, I Wayan Sudarsana, Made Sudarmawan, Ni Ketut Sri Widiantari, serta I Ketut Susrama menyebut jika dakwaan jaksa kabur, prematur serta keliru. Menurut mereka, kasus ini masuk ke perdata bukan ke ranah pidana.
"Ini kriminalisasi penjual sayur. Perbuatan yang berawal dari hubungan utang-piutang, dipaksakan jadi pidana pencurian," ungkap Made Sudarmawan, beberapa waktu lalu.
Ia menyampaikan jika perkara ini bermula dari kerjas ama antara penjual sayur dengan pemilik katering, Ety Yulia Susanti alias Oma yang telah berjalan selama setahun. Pihaknya menjadi pemasok sayur-sayuran ke tempat usaha Ety alias Oma sejak September 2024.
"Namun pembayaran macet sehingga menimbulkan tunggakan Rp 10,4 juta. Oma pernah menyatakan secara lisan, bila tidak bisa membayar (piutang), terdakwa boleh mengambil barang-barang katering sebagai jaminan," ujar Sudarmawan.
Menurut Sudarmawan, terdakwa tidak bermaksud menguasai barang-barang katering. Hanya disimpan di garasi dekat kos Prasuta. Lantas, pada 23 September 2024, Ety melunasi utangnya. Kemudian, barang yang sebagai jaminan dikembalikan secara utuh ke lokasi semula.
"Tidak ada niat jahat para terdakwa, barang juga sudah dikembalikan setelah piutang Ety ini lunas. Sehingga unsur pencurian jelas tidak terpenuhi," lanjut pengacara asal Buleleng itu.
LBH Taksu Bali menilai proses penyidikan janggal. Mulai dari penyitaan mobil tanpa berita acara dan izin pengadilan, dugaan permintaan uang oleh oknum penyidik, hingga tidak adanya pendampingan hukum saat pemeriksaan awal meski ancaman hukuman lebih dari lima tahun.
"Ini tentunya melanggar hak terdakwa sesuai pasal 54 KUHAP. Restorarive justice yang ditawarkan klien kami sempat ditolak pelapor, meski terdakwa bersedia mengganti kerugian Rp 7 juta sesuai laporan. Sehingga, faktanya, perkara ini bisa diselesaikan secara musyawarah bukan lewat pidana," tandas Sudarmawan.