Tersangka kasus korupsi penjualan tanah pecatu di Desa Bagik Polak, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat (Lobar), Nusa Tenggara Barat (NTB), mengajukan permohonan agar tidak ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram.
Kajari Mataram Gde Made Pasek Swardhayana membenarkan bahwa para tersangka telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan. "Ada pengajuan (permohonan penangguhan penahanan)," kata Made, Selasa (7/10/2025).
Tersangka dalam kasus ini yakni Kepala Desa (Kades) Bagik Polak, Amir Amraen Putra, dan mantan Kepala Seksi (Kasi) Pengendalian dan Penanganan Sengketa pada Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lobar, Baiq Mahyuniati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Made mengatakan, permohonan tersebut belum dikabulkan. "Nanti kita kaji dulu. Belum saya tanda tangani," ujarnya.
Saat ini kedua tersangka masih ditahan. Amir Amraen Putra ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kuripan, Lombok Barat. Sementara Baiq Mahyuniati ditahan di Lapas Perempuan Kelas III Mataram.
Kasi Intel Kejari Mataram Muhammad Harun Al Rasyid menjelaskan, kasus ini bermula pada 2018 saat tersangka Amir mengajukan permohonan sertifikat atas sebidang tanah pertanian seluas 3.757 meter persegi di Subak Karang Bucu, Desa Bagik Polak, Kecamatan Labuapi.
Tanah tersebut merupakan aset milik Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.
"Tanah itu sebelumnya merupakan tanah pecatu dari Dusun Karang Sembung melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)," ungkap Harun.
Dari permohonan tersebut, BPN Lobar menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) Nomor 02669 atas nama pribadi tersangka Amir. Warga yang mengetahui hal itu kemudian melakukan aksi demonstrasi ke kantor BPN Lobar sebagai bentuk keberatan.
"Tersangka kemudian melepaskan haknya hingga SHM 02669 dibatalkan tanggal 29 September 2019 oleh BPN Lobar," sebut Harun.
Tak lama setelah pembatalan, muncul rekayasa gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Mataram atas nama pemohon IWB dan beberapa orang yang mengaku ahli waris pemilik tanah.
"Mereka (IWB dan lainnya) menggugat tersangka Amir dan BPN Lobar atas objek yang telah dibatalkan," jelas Harun.
Dalam proses persidangan, tersangka Baiq Mahyuniati yang merupakan penerima kuasa khusus dari Kepala BPN Lobar tidak hadir di persidangan dan juga tidak menugaskan staf lain.
"Akibatnya, hak untuk memberikan penjelasan atas kemungkinan error in persona dan error in objecto saat di pengadilan tidak dilakukan," ujarnya.
Kondisi itu dimanfaatkan oleh tersangka Amir. Ia kemudian berdamai dengan penggugat IWB dan menyerahkan tanah serta SHM Nomor 02669 kepada IWB berdasarkan akta perdamaian dari pengadilan.
"Tanah itu kemudian dijual," kata Harun tanpa menyebutkan nilai jualnya.
Penjualan tersebut menimbulkan kerugian negara. Namun, nilai pasti kerugiannya masih dihitung.
"Kerugian negara kurang lebih seharga tanah seluas 3.757 meter persegi di Desa Bagik Polak yang saat ini sedang dihitung oleh BPKP perwakilan NTB," tandas Harun.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(dpw/dpw)