Modus Jahat Skandal Korupsi Tata Kelola Minyak hingga Negara Rugi Rp 193,7 Triliun

Nasional

Modus Jahat Skandal Korupsi Tata Kelola Minyak hingga Negara Rugi Rp 193,7 Triliun

Tim detikcom - detikBali
Rabu, 26 Feb 2025 07:41 WIB
Konferensi pers kasus korupsi tata kelola minyak (Ondang/detikcom)
Konferensi pers kasus korupsi tata kelola minyak (Ondang/detikcom)
Jakarta -

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, sub-holding, serta kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) pada periode 2018-2023. Mereka diduga bermufakat untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.

Melansir detikNews, Rabu (26/2/2025), Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyebut ketujuh tersangka terdiri dari empat petinggi anak perusahaan PT Pertamina dan tiga pihak swasta. Mereka adalah:

  1. RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;
  2. SDS, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;
  3. YF, Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping;
  4. AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional;
  5. MKAR, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa;
  6. DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim;
  7. GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.

Modus Korupsi dan Dampaknya

Qohar menjelaskan kasus ini bermula saat pemerintah mewajibkan pemenuhan minyak mentah dari dalam negeri sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018. Namun, tersangka RS, SDS, dan AP diduga melakukan pengkondisian dalam Rapat Organisasi Hilir (ROH), yang menghasilkan keputusan menurunkan produksi kilang sehingga minyak dalam negeri tidak terserap sepenuhnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ujar Qohar di Kejagung, Senin (24/2/2025) malam.

Pada saat yang sama, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS dengan sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, meskipun harganya masih sesuai Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Selain itu, produksi minyak KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi, padahal masih dapat diolah sesuai standar yang ditetapkan.

ADVERTISEMENT

"Pada saat produksi minyak dalam negeri ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelasnya.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. Perbedaan harga minyak impor dengan produksi dalam negeri sangat signifikan.

Dalam kegiatan ekspor minyak, tersangka SDS, AP, RS, dan YF diduga bersekongkol dengan broker minyak MK, DW, dan GRJ. Mereka mengatur harga demi kepentingan pribadi yang menyebabkan kerugian negara.

"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," ungkap Qohar.

Selain itu, RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP untuk memperoleh harga tinggi (spot), meskipun syarat belum terpenuhi. Hal tersebut disetujui oleh SDS untuk impor minyak mentah dan RS untuk impor produk kilang.

Penyidik juga menemukan dugaan mark-up kontrak dalam pengiriman minyak impor oleh tersangka YF, yang menyebabkan negara harus membayar biaya tambahan sebesar 13-15 persen.

"Sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut," tambah Qohar.

Perbuatan para tersangka ini juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat, sehingga pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi lebih tinggi melalui APBN.

"Perbuatan melawan hukum ini telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun," tutupnya.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 serta Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Baca selengkapnya di halaman selanjutnya..

Penjelasan Pertamina

PT Pertamina (Persero) memastikan bahwa bahan bakar minyak (BBM) yang beredar di masyarakat bukan hasil oplosan atau blending dari Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92). Pernyataan ini disampaikan di tengah kasus korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang yang menemukan adanya dugaan manipulasi BBM.

VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menegaskan bahwa kualitas BBM yang dijual sesuai dengan standar pemerintah.

"Jadi kalau untuk kualitas BBM, kami pastikan bahwa yang dijual ke masyarakat itu adalah sesuai dengan spek yang sudah ditentukan oleh Dirjen Migas. RON 92 itu artinya ya Pertamax, RON 90 itu artinya Pertalite," kata Fadjar di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (25/2/2025), dilansir dari detikFinance.

Ia juga menjelaskan bahwa produksi BBM telah melalui penelitian dan pengujian oleh Lemigas. Menurutnya, isu yang berkembang di masyarakat mengenai oplosan BBM merupakan disinformasi.

"Ini kan muncul narasi oplosan yang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kejaksaan. Jadi, Kejaksaan lebih mempermasalahkan pembelian RON 90-92, bukan adanya oplosan. Tapi bisa kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai spesifikasinya," ujarnya.

Fadjar menambahkan bahwa Pertamina masih menunggu perkembangan kasus ini dari Kejaksaan Agung dan menghormati proses hukum yang berlangsung.

Artikel ini telah tayang di detikNews dan detikFinance. Baca selengkapnya di sini dan di sini!

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Kerugian Negara di Kasus Korupsi Minyak Mentah Capai Rp 285 T"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads