Empat terdakwa korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama Manggelewa di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Mataram, Kamis (5/8/2024). Mereka didakwa merugikan negara Rp 1,35 miliar.
Dakwaan dibacakan tiga Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati NTB Fajar Alamsyah Malo bersama Budi Tridadi Wibawa, dan Muhamad Mauludin. JPU menghadirkan secara bersama-sama empat terdakwa, yakni Christin Agustiningsih selaku konsultan pengawas proyek sekaligus Direktur CV Nirmana Consultant, mantan Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Dompu Maman yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) merangkap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek, Fery alias Heri selaku pelaksana pekerjaan, dan Benny Burhanudin selaku pemodal.
Jaksa membacakan dakwaan yang menguraikan peran dan keterlibatan masing-masing terdakwa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahwa pelaksanaan pekerjaan perencanaan pembangunan RS Pratama Manggelewa pada Dinas Kesehatan Dompu tahun 2017 telah dilaksanakan oleh pihak yang tidak memiliki kualifikasi sebagai konsultan perencana, yakni Fery alias Hery," kata Fajar.
Dia membeberkan terdakwa Fery menggunakan perusahaan CV Fiscon yang dikontrak pemerintah. Dalam perkara tersebut Fery terungkap memberikan uang kepada pemilik perusahaan, yakni Ika Taruna Sumarprayono sebesar Rp 48,4 juta atau 3 persen dari total anggaran perencanaan.
"Sisanya (anggaran perencanaan) sebesar 97 persen diterima terdakwa Fery," ujar Fajar di depan Hakim Ketua I Ketut Somanasa bersama dua anggota Irlina dan Irawan.
Selanjutnya, jaksa mengungkap peran Christin Agustiningsih sebagai Direktur Konsultan Pengawas dari CV Nirmana Consultant.
Dalam dakwaan, Christin turut menerima uang dari terdakwa Fery yang juga menjalankan tugas sebagai pelaksana pengawasan dari CV Nirmana Consultant sebesar Rp 49,9 juta.
"Bahwa terdakwa Fery dalam hal ini diketahui tidak pernah menjalankan tugas pengawasan memberikan 3 persen anggaran pengawasan kepada Christin sebesar Rp 49,9 juta," ucap Budi.
Kemudian, ada peran Muhammad Kadafi Marikar sebagai Direktur PT Sultana Anugrah asal Makassar yang memiliki kontrak dengan pemerintah sebagai pelaksana proyek. Kadafi, Budi berujar, ternyata tidak pernah datang ke lokasi pekerjaan dan melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak.
Bahkan Kadafi dengan sengaja mengalihkan pekerjaan tersebut kepada terdakwa Benny Burhanudin selaku pemodal dan tidak termasuk dalam personel inti pada PT Sultana Anugrah.
"Sehingga pelaksanaan pekerjaan menjadi tidak terkontrol dan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang dipersyaratkan dalam kontrak," katanya.
Sementara, peran terdakwa Maman sebagai PPK merangkap KPA dari Dinas Kesehatan Dompu telah dengan sengaja membiarkan pekerjaan proyek tersebut di bawah kendali Benny yang bukan bagian dari pihak yang berkontrak.
"Terdakwa Maman selaku PPK dan KPA juga telah dengan sengaja memproses pembayaran pekerjaan pelaksanaan dan pekerjaan pengawasan kepada orang atau pihak lain yang tidak sesuai dengan kontrak kerja," ungkap JPU Muhamad Mauludin.
Terdakwa Kadafi dalam menjalankan peran tersebut juga terungkap menerima upah dari pelaksanaan pekerjaan tersebut sebesar Rp 200 juta atau 30 persen dari nilai keuntungan pekerjaan.
"Korupsi muncul dari dakwaan jaksa yang menyatakan bahwa PT Sultana Anugrah milik Kadafi telah dengan sengaja mengurangi volume pekerjaan, seperti pemasangan batu kali, pekerjaan beton, pemasangan dinding, plesteran, acian, pengecatan, pekerjaan plafon, mutu beton dan balok struktur pada bangunan selasar," urainya.
Pengurangan volume pekerjaan tersebut mengakibatkan kondisi bangunan berpotensi ambruk sesuai dengan hasil pemeriksaan tim ahli konstruksi dan geoteknik tanah dari Fakultas Teknik Universitas Mataram.
Akhir dakwaan, jaksa menyebutkan nilai kerugian keuangan negara yang muncul dari proyek yang bernilai Rp 15,67 miliar tersebut sebesar Rp 1,35 miliar. Angka kerugian didapatkan dari hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.
Keempat terdakwa didakwakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Setelah pembacaan dakwaan, hakim memberi kesempatan para terdakwa mengajukan eksepsi. Sidang eksepsi atau keberatan akan dilaksanakan pada Kamis (12/9/2024) pekan depan.
Setelah berdiskusi dengan penasihat hukum, dua terdakwa Maman dan Benny Burhanudin mengajukan keberatan atas dakwaan JPU.
"Jadi yang mengajukan eksepsi Haji Benny dan Maman. Nanti akan dilaksanakan pada Kamis, kemudian dua terdakwa akan mengikuti sidang pembacaan saksi pada Senin (30/9/2024)," tandas Somanasa.
(hsa/gsp)