Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Dugaan sementara motif korupsi Adil akan digunakan sebagai dana operasional safari politik untuk maju dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Riau 2024.
Menanggapi hal itu, Pengamat Politik Universitas Udayana (Unud) Kadek Dwita Apriani mengisyaratkan tidak heran. Ia mengungkapkan tendensi politik uang di Indonesia bahkan masuk tiga besar di dunia.
Prevalensi politik uang di Indonesia, sambung Dwita, juga sudah mencapai 32 persen. Yang artinya, politik uang di Indonesia memang marak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kita lihat, temuan atau riset lima tahun terakhir bahwa politik uang di Indonesia memang demikian, tiga besar di dunia dengan prevalensi 32 persen," ujarnya kepada detikBali, Sabtu (8/4/2023).
Dia menjelaskan peserta pemilihan umum biasanya bakal menggunakan jurus politik uang jika terdapat selisih perolehan suara yang tipis. Selisihnya maksimal 10 persen antarcalon atau kandidat. Lebih dari itu, sulit meraih kemenangan bagi politikus.
Menurut dia, faktor yang menyebabkan tingginya kecenderungan kandidat menggunakan uang sebagai strategi untuk menang ialah masih banyaknya masyarakat yang menganggap politik uang sebagai hal yang wajar.
Hasil riset lima tahun terakhir menyebutkan bahwa 32 persen masyarakat Indonesia menganggap politik uang adalah wajar. Anggapan itu mendorong kandidat melancarkan jurus uang untuk memuluskan jalannya dalam pemilihan umum.
"Dengan permisifnya masyarakat, politikus, mungkin, berpikir bahwa salah satu jurus menang adalah dengan cara ini," kata Dwita.
Meski demikian, strategi politik uang bukan jurus yang absolut bagi kandidat agar mendulang banyak suara saat pemilihan umum. Dwita mengatakan masih harus dilakukan riset mendalam terkait hal tersebut.
"Artinya, mereka bisa saja menerima uangnya tanpa memilih calon yang memberi uang. Masih perlu ada studi yang serius terkait hal itu," terang dia.
(BIR/iws)