Mantan Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof Dr dr I Made Bakta Sp.PD (KHOM) meminta perlindungan hukum ke Unud.
Upaya perlindungan hukum itu dilakukan usai dirinya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemalsuan akta autentik.
Selain itu, permohonan perlindungan diajukan lantaran ia merasa tidak bersalah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu usaha saya secara pribadi memohon kepada Unud untuk mendapat perlindungan. Karena saya sama sekali tidak ada salah. (Saya) menjalankan tugas (dan) menyelamatkan aset negara. Ya kan menyelamatkan aset negara itu, kalau endak begitu hilang dia (asetnya)," kata Prof Bakta saat dihubungi detikBali, Rabu (6/4/2022).
Prof Bakta berharap pemintaan perlindungan hukum tersebut disetujui oleh Unud dan berhasil, baik melalui surat perintah penghentian penyelidikan (SP3) atau berbagai upaya lainnya.
"Nah itu, mudah-mudahan berhasil apakah melalui SP3 atau apalah, itu kan urusannya bapak Rektor (Unud saat ini) itu nanti bersama tim bersama kementerian. Karena tanah itu atas nama kementerian bukan atas nama Unud," terang Prof Bakta.
Namun Prof Bakta belum memastikan kapan akan memohon perlindungan hukum ke Unud. Ia menegaskan, pengajuan perlindungan hukum bakal dilakukan paling lambat minggu depan.
"Mungkin nanti ada timnya ke sana mungkin. Endak tahu harinya yang pasti ya. Mungkin minggu-minggu ini lah, paling tidak Minggu depan. Sudah diajukan jadwal," jelas guru besar bidang ilmu Hematologi dan Onkologi Fakultas Kedokteran Unud ini.
Kemudian mengenai penetapan tersangka dirinya sebagai rektor oleh Bareskrim Polri, Prof Bakta meminta detikBali untuk meminta tanggapan resmi dari tim hukum Unud. Sebab ia ditetapkan tersangka berstatus sebagai mantan rektor.
Namun secara pribadi, Prof Bakta menyampaikan bahwa dirinya merasa tidak ada salah sama sekali. Sebab proses mengenai akta tersebut dilakukan pada 1983.
"Saya hanya melaksanakan tugas karena Unud digugat saya melaksanakan tugas -tugas dan akhirnya (permasalahan tanah tersebut) di Mahkamah Agung. Terakhir karena kita kalah di Mahkamah Agung pengganti saya Prof Swastika melaksanakan PK, akhirnya kita menang," ungkapnya.
Setelah itu, kata Prof Bakta, baru timbul pengaduan pemalsuan memakai surat palsu. Prof Bakta mengaku tidak tahu menahu soal keberadaan surat tersebut.
"Saya sendiri tidak tahu surat palsu itu. Dan yang mengurus itu semua tim hukum, saya tidak pernah untuk berhubungan dengan surat itu," tegasnya.
Hingga kini Prof Bakta mengaku sudah menerima informasi mengenai penetapan dirinya sebagai tersangka.
Sebelum dijadikan tersangka ia sempat dipanggil sebagai saksi oleh Bareskrim sekitar dua hingga tiga bulan lalu.
"Pernah sebagai saksi dulu kira-kira 2 bulan lalu. (Dipanggil) sekali saja. Saya lupa tanggalnya, kira-kira dua bulan, tiga bulan yang lalu lah kira-kira," tutur Prof Bakta.
Sebelumnya, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menetapkan Rektor Universitas Udayana (Unud) periode 2005-2013 Prof Dr dr I Made Bakta Sp.PD (KHOM) sebagai tersangka.
Guru besar pada bidang ilmu Hematologi dan Onkologi Fakultas Kedokteran Unud ini ditetapkan tersangka atas dugaan pemalsuan akta autentik kasus tanah milik warga Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
Penetapan Prof Bakta sebagai tersangka diungkap I Komang Sutrisna, pengacara warga sekaligus lawyer dari pelapor I Nyoman Suastika, Selasa (5/04/2022).
Kata Sutrisna, pihaknya telah menerima bukti berupa SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) dari kepolisian (Bareskrim Mabes Polri).
"SP2HP sudah kami terima dari Bareskrim Polri. Dan memang betul sesuai SP2HP Nomor: B/1452 Subdit-I/III/2022/Dit Tipidum tertanggal 25 Maret 2022, MB (Made Bakta) telah ditetapkan sebagai tersangka,"terang Sutrisna saat dikonfirmasi detikcom Selasa malam.
(dpra/dpra)