Tatong Kedang, Alat Musik Bambu di Lembata yang Berusia Ratusan Tahun

Tatong Kedang, Alat Musik Bambu di Lembata yang Berusia Ratusan Tahun

Adila Farhah Nursyifa - detikBali
Minggu, 30 Nov 2025 23:40 WIB
Tatong Kedang, Alat Musik Bambu di Lembata, NTT. (Instagram @lembatasejauhmatamemandang / Andri, warga lokal Lembata)
Foto: Tatong Kedang, Alat Musik Bambu di Lembata, NTT. (Instagram @lembatasejauhmatamemandang/Andri, warga lokal Lembata)
Lembata -

Desa Leuwayan, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara TImur (NTT), memiliki sebuah alat musik bambu yang keberadaannya diyakini telah melampaui usia banyak generasi. Tatong, nama yang mungkin terdengar sederhana tapi sejarahnya menembus ratusan tahun.

Dirangkum dari beberapa sumber, alat musik ini sudah ada sejak lebih dari 300 tahun Masehi. Tatong diwariskan dari para leluhur Kedang kepada setiap generasi sebagai kebanggaan, identitas, dan cerminan hubungan masyarakat dengan tanahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada masa lalu, tatong dimainkan oleh nenek moyang sepulang dari ladang. Suara ritmisnya menjadi cara mereka melepas penat sekaligus sarana berkumpul. Dari sana, tatong tumbuh menjadi bagian dari denyut hidup masyarakat Kedang irama yang menyatukan warga, ritme yang menjaga kedekatan manusia dengan leluhur, serta tanda bahwa musik tidak pernah terpisah dari keseharian mereka.

Alat musik tradisional tatong menjadi salah satu jejak kebudayaan penting dari masyarakat Lembata, khususnya di Desa Leuwayaan. Masyarakat setempat meyakini bahwa tatong sudah ada sejak masa kolonial Portugis dan diwariskan turun-temurun sebagai bagian dari identitas leluhur. Karena itu, keberadaannya tidak hanya dipandang sebagai alat musik, tetapi juga simbol perjalanan sejarah, ekspresi budaya, dan cerminan cara hidup masyarakat yang terus bertahan hingga kini.

ADVERTISEMENT

Dalam berbagai kesempatan adat dan kegiatan budaya, tatong hadir sebagai pengiring. Suaranya yang khas, nyaring, ritmis, dan resonan, menjadikannya lebih dari sekadar instrumen tradisional. Tatong juga dahulu digunakan sebagai media komunikasi, penanda berkumpul atau informasi tertentu bagi warga desa. Nilai historis inilah yang membuat tatong terus dirawat oleh para pengrajin dan pemusik lokal.

Proses pembuatan tatong sendiri memerlukan ketelatenan. Bahan utamanya adalah bambu pilihan yang dipotong langsung dari rumpun. Setelah ditebang, bambu tidak langsung diolah; bambu harus dikeringkan selama sekitar dua bulan agar lebih kuat, tidak mudah retak, dan menghasilkan resonansi suara yang optimal. Tahap ini menjadi dasar dari kualitas bunyi tatong.

Keunikan Bentuk dan Makna Musik Tatong

Tatong dibuat dari satu ruas bambu sepanjang kurang lebih satu meter. Kulit bambu disayat untuk membentuk empat dawai dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan dengan lubang memanjang di bagian tengah sebagai rongga resonansi. Ketika dipukul menggunakan dua bilah bambu, suara yang muncul menyerupai perpaduan irama gong dan gendang tradisional kedang: nyaring, tebal, dan bergerak dalam pola ritmis yang khas.

Setiap dawai memiliki fungsi irama Lekaq, Kabolu, dan Kong Rian. Sementara irama kecil Kengke biasanya menyatu dengan melodi Lekaq. Kombinasi ini memungkinkan satu pemain menghasilkan tiga pola musik sekaligus. Keunikan inilah yang menjadikan tatong tetap digunakan dalam upacara adat, tarian tradisional, hingga pertemuan besar masyarakat Kedang.

Tatong dalam Tradisi dan Bahasa Budaya Kedang

Dalam pandangan masyarakat Kedang, musik bukan semata hiburan. Ia adalah bahasa budaya, cara mereka menyampaikan pesan, menandai peristiwa, dan berkomunikasi dengan leluhur. Tatong sering dimainkan mengiringi tarian adat, ritual tertentu, hingga upacara besar di desa. Irama yang keluar tidak berdiri sebagai bunyi kosong; ia membawa pesan, penanda suasana, dan simbol hubungan spiritual masyarakat dengan alam sekitarnya.

Karena nilai budaya yang begitu kuat, tatong terus diajarkan kepada generasi muda. Anak-anak di sekolah lokal hingga remaja desa diperkenalkan pada cara memainkannya, memahami iramanya, dan menghargai makna filosofisnya. Selama tatong dimainkan, masyarakat Kedang percaya identitas budaya mereka tetap hidup.

Proses Pembuatan, Ketelitian yang Menjaga Nada Leluhur

Menurut dokumentasi Suanggitv1990, pembuatan tatong dimulai dari pemilihan bambu terbaik. Warga menebangnya langsung dari rumpun, kemudian mengeringkannya selama dua bulan untuk memastikan bambu tidak mudah retak dan menghasilkan resonansi optimal. Proses pengeringan ini menjadi kunci kualitas suara tatong.

Setelah bambu siap, para pengrajin menggunakan alat sederhana, gergaji, pahat, pisau karter, dan pisau biasa. Kulit bambu dikupas dengan hati-hati menggunakan pisau agar suara yang keluar lebih nyaring dan jernih. Empat celah kemudian dibentuk: dua di sisi kanan dan dua di sisi kiri. Pada bagian tengah ditoreh lubang memanjang yang berfungsi sebagai ruang keluarnya suara.

Setiap dawai dipahat perlahan untuk menghasilkan melodi berbeda. Pada tahap ini, keahlian pengrajin benar-benar diuji. Ia harus memahami struktur bambu, mendengar perubahan nada sekecil apa pun, serta menyeimbangkan ketebalan dan panjang dawai agar irama khas Kedang dapat lahir dengan sempurna.

Tatong dimainkan dengan cara dipukul atau diketuk, baik menggunakan tangan maupun alat bantu dari kayu atau bambu. Cara memainkannya memberi ruang bagi variasi ritme dan permainan melodi sesuai kebutuhan pertunjukan adat. Suara tatong biasanya mengiringi tarian, ritual, ataupun kegiatan masyarakat, menjadikannya bagian penting dalam dinamika kehidupan budaya Lembata.

Untuk memastikan warisan ini tidak hilang, masyarakat Desa Leuwayaan terus berupaya mengenalkan tatong kepada generasi muda. Beberapa sekolah juga mulai mengajarkannya sebagai bagian dari pendidikan budaya lokal, agar anak-anak tidak hanya mengetahui sejarahnya tetapi juga mampu memainkan dan menghargai nilai-nilai yang diwariskan.

Tatong bukan hanya alat musik; ia adalah cerita panjang tentang desa, sejarah, dan manusia. Ia dibuat dari bambu, dibentuk oleh tangan-tangan yang menjaga tradisi, dan hidup melalui bunyi yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Selama masyarakat Leuwayaan terus merawatnya, tatong akan tetap berdentang sebagai identitas kebudayaan yang tak lekang oleh waktu.

Tatong sebagai Kekayaan Pengetahuan Leluhur

Tatong menyimpan empat lapisan nilai budaya, yakni:

1. Simbol sejarah panjang kedang, jejak keberadaan masyarakat sejak masa kolonial.

2. Wadah identitas kultural, yang membedakan Kedang dari wilayah budaya lainnya.

3. Warisan keterampilan tangan, yang memperlihatkan pengetahuan lokal tentang bambu, nada, dan resonansi.

4. Medium penghubung dengan leluhur, yang hidup melalui irama dan tradisi.

Tatong bukan sekadar objek budaya. Ia adalah suara yang menandai siapa masyarakat Kedang dulu, kini, dan nanti. Selama bambu terus disayat, dawai terus berdentang, dan generasi muda terus belajar memainkannya, tatong akan tetap berdiri sebagai nyawa musik Kedang warisan yang tidak tergantikan oleh waktu.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads