Suku Mbojo, atau yang lebih dikenal sebagai orang Bima, merupakan salah satu suku yang mendiami bagian timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Masyarakat Mbojo memiliki kekayaan budaya yang masih lestari hingga kini, salah satunya dalam bentuk seni tari.
Dalam tradisi Bima, seni tari terbagi menjadi dua jenis: tari klasik dan tari rakyat. Tari klasik tumbuh dan berkembang di lingkungan istana Kesultanan Bima, sedangkan tari rakyat berkembang di luar istana dan lebih dekat dengan masyarakat umum.
Salah satu tari klasik paling terkenal dari Bima adalah Tari Lenggo. Tarian ini kerap dipentaskan untuk menyambut tamu kehormatan Kesultanan Bima dan dalam upacara keagamaan. Tarian ini dapat dibawakan oleh remaja putra maupun putri dan memiliki makna filosofis mendalam bagi masyarakat Bima, terutama bagi keluarga kesultanan yang diharapkan menjadi teladan dalam sikap dan perilaku.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-Usul Tari Lenggo
Tari Lenggo berasal dari daerah Bima, NTB, dan terbagi menjadi dua jenis utama: Tari Lenggo Melayu dan Tari Lenggo Mbojo. Keduanya memiliki latar sejarah yang berbeda namun sama-sama menjadi bagian penting dari tradisi Kesultanan Bima.
Tari Lenggo Melayu
Tari Lenggo Melayu merupakan bentuk awal dari Tari Lenggo. Tarian ini diciptakan oleh Datuk Raja Lelo, seorang tokoh penyebar agama Islam di Bima pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin, Sultan Bima ke-2.
Nama "Lenggo Melayu" diambil dari mpa'a Malayu (penari Melayu) yang berasal dari Sumatera Barat. Karena penarinya adalah laki-laki, tarian ini disebut juga mpa'a lenggo mone atau tari Lenggo pria. Awalnya, tarian ini diciptakan khusus untuk upacara adat Hanta Ua Pua, sebuah tradisi besar yang memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW serta masuknya Islam ke Bima.
Tari Lenggo Mbojo
Berbeda dari versi Melayu, Tari Lenggo Mbojo diciptakan langsung oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin sekitar tahun 1640. Dalam perayaan Hanta Ua Pua, Sultan meminta para ulama Melayu membawa Al-Qur'an ke istana. Untuk menyambut rombongan tersebut, Sultan menciptakan tarian khusus yang dibawakan oleh penari perempuan-itulah yang kemudian dikenal sebagai Tari Lenggo Mbojo.
Kedua versi tarian ini melambangkan keharmonisan antara masyarakat Bima dan para ulama Melayu yang berperan penting dalam penyebaran Islam di wilayah tersebut.
Fungsi dan Makna Tari Lenggo
Secara tradisional, Tari Lenggo berfungsi sebagai bagian penting dari upacara Hanta Ua Pua. Tarian ini menjadi simbol penyambutan dan penghormatan bagi rombongan penghulu Melayu yang membawa kitab suci Al-Qur'an menuju istana.
Selain itu, Tari Lenggo memiliki makna persatuan dan kerja sama antara Kesultanan Bima, para ulama, dan masyarakat dalam menegakkan ajaran Islam.
Kini, Tari Lenggo tidak hanya berfungsi dalam upacara adat, tetapi juga menjadi tarian penyambutan tamu kehormatan, penobatan Sultan dan Putra Mahkota, serta perayaan budaya di tingkat daerah maupun nasional.
Pertunjukan dan Ciri Khas Tari Lenggo
Pertunjukan Tari Lenggo biasanya dimainkan oleh 4 hingga 6 penari, baik pria (Lenggo Melayu) maupun wanita (Lenggo Mbojo), yang tampil berpasangan.
Kostum penari pria terdiri dari celana panjang hijau, baju lengan panjang, sarung kuning, dan keris di pinggang. Sementara penari wanita mengenakan sarung kuning, baju panjang merah muda, dan sanggul rambut.
Gerakannya halus, lembut, dan penuh keanggunan, mengikuti alunan musik tradisional Bima seperti gendang (Genda Na'e), gong, dan seruling (silu). Tarian ini menonjolkan suasana penghormatan dan keindahan, mencerminkan nilai sopan santun serta kebijaksanaan masyarakat Bima.
Tari Lenggo tidak sekadar hiburan, tetapi juga warisan budaya yang merekam jejak sejarah Islamisasi di Bima. Hingga kini, tarian ini tetap diajarkan kepada generasi muda melalui sanggar dan kegiatan kebudayaan daerah agar tidak hilang ditelan zaman.
Melalui pelestarian Tari Lenggo, masyarakat Bima terus menjaga identitas budaya mereka sebagai bagian dari sejarah panjang Nusantara yang kaya dan beragam.
(dpw/dpw)











































