Bali dikenal memiliki busana adat yang mewah sekaligus sarat makna. Salah satunya adalah Kain Songket Bali, kain tradisional yang kerap dipakai dalam acara penting, khususnya upacara pernikahan. Songket Bali bukan sekadar kain indah, melainkan simbol budaya, doa, dan keanggunan yang diwariskan turun-temurun.
Filosofi Kain Songket Bali
Motif pada kain songket Bali ditenun dengan benang emas atau perak. Bahan berkilau ini dipercaya melambangkan kemuliaan, kesejahteraan, dan keharmonisan hidup manusia dengan alam semesta. Songket juga dipandang sebagai wujud harmoni antara sekala (dunia nyata) dan niskala (dunia tak kasatmata).
Karena itu, dalam pernikahan atau upacara adat, kain songket selalu hadir sebagai lambang doa restu, penghormatan pada leluhur, serta harapan akan kehidupan yang seimbang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Singkat Songket Bali
Jejak songket di Bali diyakini sudah ada sejak abad ke-17, ketika kain dari India dan Tiongkok masuk lewat jalur perdagangan. Dari pengaruh itulah, masyarakat Bali mengembangkan teknik tenun khas dengan sentuhan lokal.
Pada awalnya, songket hanya boleh dikenakan oleh kaum bangsawan atau keluarga kerajaan. Benang emas dan perak yang digunakan dianggap barang mewah dan bernilai tinggi. Namun, seiring waktu, songket mulai menyebar dan dipakai lebih luas, meski tetap dipandang sebagai kain istimewa.
Fungsi dan Makna
Kain songket tidak hanya digunakan dalam pernikahan adat, tetapi juga dalam upacara keagamaan, pertunjukan tari tradisional, hingga penyambutan tamu kehormatan.
Bagi perempuan Bali, mengenakan songket dalam acara penting merupakan bentuk penghormatan pada leluhur sekaligus menjaga martabat keluarga. Selain itu, songket berfungsi sebagai identitas budaya. Setiap daerah di Bali memiliki motif khas, seperti bunga, daun, hingga pola geometris yang merepresentasikan tradisi setempat.
Proses Pembuatan
Pembuatan kain songket Bali memerlukan keterampilan tangan dan kesabaran tinggi. Prosesnya dimulai dari pemintalan benang, pewarnaan, hingga penenunan menggunakan alat tradisional bernama cagcag. Benang emas atau perak kemudian disisipkan dengan teknik khusus untuk membentuk motif.
Satu lembar kain songket bisa diselesaikan dalam hitungan minggu bahkan berbulan-bulan, tergantung kerumitan desain. Tak heran jika harga songket tergolong tinggi, sebanding dengan kerja keras serta nilai seni yang terkandung di dalamnya.
Upaya Pelestarian di Era Modern
Di tengah gempuran kain pabrikan dengan harga murah, eksistensi songket Bali menghadapi tantangan. Generasi muda kerap kurang tertarik karena prosesnya dianggap rumit dan harganya mahal.
Meski begitu, berbagai upaya pelestarian terus dilakukan. Perajin lokal, komunitas budaya, hingga pemerintah daerah aktif mengadakan pelatihan dan pameran. Tak sedikit desainer Bali juga mengangkat songket dalam rancangan busana modern, sehingga bisa tampil di panggung mode internasional. Dengan cara ini, songket Bali tidak hanya lestari, tetapi juga semakin dikenal dunia.
(dpw/dpw)