Drama asal Malaysia berjudul Bidaah atau Broken Heaven mendadak viral di media sosial Indonesia. Serial ini menjadi perbincangan karena menampilkan adegan kontroversial dari tokoh fiktif Walid Muhammad, pemimpin sekte keagamaan bernama Jihad Ummah.
Walid diceritakan sebagai figur pemuka agama yang memanipulasi ajaran keagamaan demi menikahi perempuan-perempuan muda. Salah satu adegan yang menjadi sorotan publik adalah praktik 'nikah batin', yaitu pernikahan yang diklaim sah secara spiritual tapi tidak diakui secara hukum, dengan iming-iming surga bagi para pengikutnya.
Sosok Walid, lengkap dengan penutup kepala menyerupai sorban, menjadi viral di TikTok. Warganet menilai adegan-adegan dalam Bidaah memiliki kemiripan dengan kasus-kasus nyata yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya terkait pemimpin spiritual yang menyalahgunakan ajaran agama untuk kepentingan pribadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manipulasi Berkedok Agama dan Bahayanya bagi Korban
Dilansir dari detikHealth, Rabu (9/4/2025), psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menilai pendekatan keagamaan memang kerap digunakan oleh pelaku untuk memanipulasi calon korbannya. Menurutnya, atribut keagamaan seperti pakaian atau cara bicara menjadi alat untuk menampilkan kesan sebagai sosok yang spesial dan patut dihormati.
"Atribut atau outfit tertentu dalam tanda kutip bermain peran yang seolah-olah lebih berbeda dibanding orang lain, lebih spesial dibanding orang lain. Itu membuat kesan yang bisa ditangkap oleh korban kayak 'wah', kayak sesuatu yang spesial dibanding orang lain," kata Anastasia.
Ia menambahkan bahwa tindakan manipulatif ini kerap dilakukan untuk keuntungan pribadi pelaku.
"Maka bisa dikatakan sudah termasuk perilaku yang manipulatif. Ada tujuan untuk keuntungan dirinya (pelaku) sendiri," ujarnya.
Pentingnya Edukasi dan Pemikiran Kritis
Anastasia menekankan pentingnya literasi, edukasi, dan kemampuan berpikir kritis agar seseorang tidak mudah terjebak dalam manipulasi berkedok agama.
"Harus berpikir kritis dalam menjalani kehidupan beragama. Pastikan untuk belajar, tidak melulu ke satu orang, tapi bisa secara merata dari lingkungan terdekat atau orang yang dipercaya," katanya.
Selain itu, ia menyarankan agar individu terbuka untuk berdiskusi dan menerima masukan dari orang-orang terdekat.
"Harus juga terbuka untuk berdiskusi dan menerima masukan dari orang terdekat, khususnya apa yang dialami dan diterima. Apakah itu pantas atau layak tidak," sambungnya.
Kesadaran Diri dan Keberanian untuk Speak Up
Menurut Anastasia, salah satu tantangan terbesar adalah banyaknya korban yang tidak menyadari bahwa mereka telah dimanipulasi. Perilaku tidak nyaman seperti pelecehan atau pemaksaan sering kali dimaknai secara keliru sebagai bentuk cinta.
"Biasakan untuk berani speak up pada orang terdekat. Jangan hanya diterima atau diberikan teori bahwa ini dia sayang, artinya saya spesial, artinya aku dipilih seperti doktrin yang sudah masuk di kepala," ucapnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya mencari sudut pandang kedua atau ketiga dalam menilai suatu situasi.
"Ada second opinion atau third opinion. Banyak sekali orang manipulatif di luar sana, dari segi perilaku dan penampilan. Di tempat saya banyak ditemukan kejadian seperti dicampur aduknya nilai agama untuk pembenaran, dengan tujuan memenuhi hasratnya saja," imbuh Anastasia.
Artikel ini telah tayang di detikHealth. Baca selengkapnya di sini!
(dpw/dpw)