Di Desa Kateng, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), ada tradisi roah yang dilakukan saat perayaan hari-hari besar, termasuk Hari Raya Idul Adha.
Roah merupakan sebuah tradisi doa bersama yang rutin dilakukan oleh laki-laki. Tradisi ini biasanya dilakukan di masjid, musala, atau rumah warga untuk melakukan ritual doa kepada keluarga yang sudah meninggal dunia.
Roah bagi masyarakat Desa Kateng sudah dilakukan secara turun-temurun dan memiliki makna yang dalam bagi masyarakat setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Acara roah tidak hanya sekadar doa bersama, tetapi juga melibatkan tradisi makan bersama untuk menunjukkan rasa kebersamaan dan mempererat persaudaraan. Para perempuan atau ibu-ibu rumah tangga berperan dalam menyiapkan hidangan yang diantarkan ke lokasi dengan menggunakan dulang atau baki besar.
Lalu Muhamad Faisal (53), tokoh masyarakat setempat, menjelaskan roah merupakan tradisi rutin yang dilakukan setiap tahun pada hari-hari besar Islam. Seperti ketika menyambut bulan Ramadaan, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha.
"Ini adalah bentuk rasa syukur kami sebagai umat muslim yang dapat dipertemukan pada Hari Raya Idul Adha ini," kata Faisal kepada detikBali, Senin (17/6/2024).
Menurut Faisal, roah bukan hanya untuk menyambut hari besar. Tak jarang masyarakat Desa Kateng melakukan ritual itu setelah hari raya.
"Kami biasa lakukan roah ini mulai dari tiga hari sebelum Lebaran sampai sehari setelah Lebaran," ujarnya.
![]() |
Faisal mengatakan roah tak hanya bisa dilakukan di masjid atau musala. Namun, ritual juga bisa dilakukan di rumah-rumah warga yang merasa mampu melakukan.
"Jadi ada yang di musala, ada yang di masjid dan ada yang di rumah mereka. Secara bergantian," terangnya.
Mesilaq Sebelum Roah
Faisal menjelaskan sebelum roah dilakukan akan ada satu orang yang akan berkeliling kampung mengajak warga untuk zikir. Ajakan itu biasa disebut sebagai 'mesilaq'. Orang yang bertugas seperti ini biasanya dilakukan oleh tuan rumah.
"Tapi sebelum roah itu akan ada satu orang yang keliling kampung untuk mesilaq (mengajak) untuk roah. Mengajak warga yang lain bahwa nanti akan ada roah di tempat A atau tempat B," imbuhnya.
Faisal mengatakan petugas mesilaq tak boleh dilakukan oleh orang sembarangan. Mereka harus mampu berkomunikasi dengan bertutur kata dengan bahasa Sasak halus.
"Itu untuk menunjukkan bahwa kami itu adalah orang Sasak yang memang harus mengedepankan sopan dan santun dalam berperilaku," kata Faisal.
Zikir Dipimpin oleh Tuan Guru
Kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Iman Kateng itu menjelaskan saat semua tamu undangan sudah berkumpul, roah biasanya dipimpin oleh pemuka agama yang biasa disebut sebagai tuan guru atau ustaz.
"Jadi tamu undangan yang lain itu tinggal mengikuti apa yang dibaca sama yang memimpin saja," ujar Faisal.
Bacaan-bacaan yang dibaca juga sudah sangat tersusun. Mulai dari pembacaan surat Al-Fatihah awal, disusul oleh pembacaan Al-Ikhlas tiga kali, hingga Al-Baqarah ayat 1-7.
Pada doa mereka, disisipkan doa-doa selamat bagi yang punya hajatan dan meminta agar keluarga yang sudah meninggal dunia diberikan tempat yang lapang di akhirat.
"Setelah itu baru zikir kemudian doa dipimpin oleh Tuan Guru," bebernya.
Begibung atau Makan Bersama
Begibung ini bukan tradisi yang hanya bersifat seremonial. Namun, mengandung banyak makna filosofi di dalamnya.
Pertama, sebagai perwujudan kesetaraan dan keadilan. Yakni, menunjukkan tidak adanya perbedaan si kaya dan si miskin, atau berpendidikan tinggi dan rendah.
Dalam begibung semua akan diperlakukan sama dan melebur menjadi satu dalam wadah makan yang bernama nare atau nampan yang ditutup dengan tembolak merah.
"Selain itu, kami juga ingin menumbuhkan solidaritas dan persaudaraan. Dengan kegiatan ini kami bermaksud mengajak semua pihak untuk bersama-sama membangun desa ini," beber Faisal.
Menurutnya, begibung juga memiliki makna penyambung dan perekat tali silaturahmi. Menurutnya, melalui tradisi ini orang-orang yang sudah lama tidak bertemu atau bertutur sapa dengan teman akan mudah dipertemukan.
"Makanya ini setiap tahun kami lakukan untuk tetap mempererat silaturahmi kami di kampung," ujar Faisal.
Ngawon atau Membawa Hidangan Pulang
Dalam tradisi roah, biasanya warga tak hanya makan di tempat. Namun, ketika pulang ke rumah masing-masing, tak jarang juga bisa menenteng sisa makanan atau minuman ke rumah mereka. Hal itu biasa disebut sebagai 'ngawon'.
Ngawon biasanya dilakukan untuk menghormati pemilik acara agar semua hidangan yang disediakan habis untuk dimakan atau dibawa pulang dengan menggunakan plastik atau keresek.
"Karena niat sejak awal pemilik acara ini memang bersedekah. Jadi kalau dibiarkan di sana akan mubazir. Jadi pemilik acara menyediakan keresek untuk dibawa pulang," pungkas Faisal.
(hsa/hsa)