Hingga kini, seni kakebyaran yang telah dikemas ke dalam bentuk gong kebyar rutin dipentaskan sebagai parade masing-masing kabupaten/kota setiap tahun dalam Pesta Kesenian Bali (PKB).
Parade tersebut seolah menjadi pertaruhan gengsi antardaerah, sehingga setiap kelompok seni yang mewakili akan berusaha tampil sedemikian rupa dan maksimal.
Perkembangan seni kakebyaran inilah yang memantik gagasan tokoh seni tari Bali, I Wayan Dibia untuk membukukan perjalanan kreatif I Ketut Maria dalam merintis kemunculan gong kebyar.
"Pak Maria itu bukan sekadar seniman atau penari saja. Pak Maria itu pahlawan seni kebyar," cetus Dibia, Minggu (27/8/2023).
Purnabakti guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini mengaku hendak menuangkan seluruh kisah I Ketut Maria sebagai manusia biasa, tokoh seni tari, dan pejuang di jalur kesenian dan kebudayaan.
"Ia memperjuangkan gong kebyar ke berbagai daerah. Termasuk ke luar negeri. Ini yang menarik untuk saya ungkap," sebutnya.
Menurut Dibia, ketokohan I Ketut Maria telah mewariskan berbagai ilmu kesenian yang sampai sekarang masih berkembang. Selain itu, I Ketut Maria juga telah membentuk sebuah sikap yang perlu untuk ditularkan.
"Di usianya yang memasuki kepala enam, Pak Maria mau ikut keluar negeri bersama Sekaa Gong Pangkung. Sementara di tahun 1952, dia menolak ke Amerika Serikat. Artinya kalau sudah dengan grup seninya, dia akan melakukan apa saja. Ini sikap atau idealismenya yang tinggi," ucapnya.
Ia menjelaskan, seni kakebyaran awalnya hanya muncul sebagai sebuah ide yang diwujudkan ke dalam seni tabuh yang diberi nama gong kebyar. Konsep musiknya diwujudkan ke dalam pukulan keras, cepat, dan sebagainya.
![]() |
Dalam perjalanannya, gong kebyar diramu sedemikian rupa sehingga memunculkan atau merangsang seniman lainnya untuk merespon dengan seni lainnya.
"Memunculkan rumpun kesenian baru yang saya sebut dengan seni kakebyaran. Oleh Pak Maria sendiri menjadi Tari Kebyar Duduk, Kebyar Terompong, sampai Oleg Tamulilingan," jelasnya.
Selain dari sisi kiprahnya di dunia seni, Dibia menuturkan, kisah hidup seorang I Ketut Maria juga cukup menarik. Menurutnya, I Ketut Maria merupakan seniman yang di masa kecilnya tidak bernasib baik.
"Namun di kemudian hari mencapai kejayaan seperti yang diketahui sekarang. Dia dulunya pengungsi. Orang tuanya mengungsi dari Klungkung ke Denpasar," tuturnya.
Di kemudian hari, setelah perang Puputan Badung, ibunya membawa I Ketut Maria dan saudara-saudaranya pindah ke barat yakni ke Desa Tunjuk, Tabanan.
"Dia seniman yang hidup di empat masa. Zaman Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan RI, serta zaman menjelang tragedi G30S/PKI. Katakan tiga masa yang besar di tambah satu tragedi itu," tukasnya.
Dibia menuturkan gagasan untuk membukukan kiprah dan perjalanan hidup I Ketut Maria ini mulai tercetus di tahun ini. Menurutnya, masih sedikit ulasan mengenai perjalanan I Ketut Maria dalam seni tari di Bali.
"Mulai dari PKB baru-baru ini. Saya berpikir seniman sebesar I Ketut Maria kok sedikit (ulasannya). Memang sempat ada orasi oleh Prof (Made Bandem), tapi saya mau bukukan saja. Saya dedikasikan untuk Pak Maria karena sudah membesarkan seni kakebyaran dan nantinya diseminarkan," ujarnya.
(dpw/gsp)