Tradisi Matruna Nyoman adalah tradisi di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Tradisi Matruna Nyoman dilaksanakan untuk para remaja laki-laki sebagai bentuk pendewasaan dan bekal hidup tentang pengetahuan moral, etika, dan pengetahuan tentang hakikat hidup sebagai seorang manusia juga hakekat dalam kehidupan adat.
Prosesi Tradisi Matruna dilaksanakan selama setahun penuh yang dimulai dari punama sasrih. Mulai dari punama sasih kaulu sampai dengan punama sasih kaulu tahun berikutnya sesuai dengan perhitungan kalender adat Tenganan Pegringsingan.
Berikut makna, nilai filosofis, sejarah, dan tahapan mengenai Matruna Nyoman di Tenganan yang dikutip dari berbagai sumber.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Makna
Metruna Nyoman lahir dari dua suku kata yaitu "Teruna" yang memiliki arti anak laki-laki yang sudah remaja atau sudah cukup umur dan "Nyoman" yang diambil dari kata Nyom artinya muda atau suci.
Proses Matruna Nyoman diibaratkan seperti metamorfosis kupu-kupu yang memiliki tiga tahapan yakni menjadi ulat, kepompong, dan kupu-kupu.
Nilai Filosofis
Dilansir dari laman web warisan budaya, Matruna Nyoman merupakan sebuah tradisi yang sakral yang selalu dilakukan oleh generasi ke generasi dan wajib di diikuti para remaja laki-laki yang ada di Desa Tenganan sebagai bekal saat dewasa nanti. Adapun nilai filosofis yang terkandung dalam Tradisi Matruna Nyoman yaitu:
1. Nilai Religius
Terdapat tahapan menghaturkan sesajen dengan pelaksanaan persembahyangan ke seluruh pura di desa adat setempat. Tujuannya untuk memohon restu kepada Tuhan dan leluhur untuk mengikuti rangkaian Metruna Nyoman ini.
Maka Tradisi ini memberikan pembelajaran bagi para remaja yang mengikuti tradisi supaya selalu mengingat sembahyang dan bersyukur.
2. Nilai Kekeluargaan
Menimbulkan rasa kekeluargaan di antara para remaja karena selama setahun penuh mereka akan tinggal asrama yang jauh dari keluarga dan orang tua. Asrama tersebut diberi nama "rumah Jero Mekel".
3. Nilai Solidaritas
Adanya kebersamaan selama 1 tahun pastinya menciptakan rasa solidaritas di antara para remaja yang melaksanakan tradisi Matruna Nyoman. Adapun tahap di mana mereka akan lebih bisa menghormati keberadaan wanita yaitu tahap ngejot gede dan para remaja akan memberikan jotan tipat kepada para daha (gadis).
4. Nilai Kemandirian
Selama setahun juga mereka akan dilatih untuk menjadi mandiri karena banyak kewajiban yang pastinya dilakukan sendiri.
Sejarah
Pada dasarnya tidak ada yang mengetahui pasti mengenai sejarah tradisi Metruna Nyoman. Namun, tradisi ini sudah dilaksanakan dari generasi ke generasi dan bersifat wajib karena sebagai bentuk pendewasaan bagi remaja laki-laki yang ada di Desa Tenganan ini.
Dilansir dari laman web warisan budaya, masyarakat di Desa Tenganan memiliki awig-awig yang mengatur tentang beberapa hal. Salah satunya adalah ketentuan dan syarat untuk seorang laki-laki di Desa Tenganan Pegringsingan bisa duduk sebagai krama desa atau bisa dikatakan dewasa adalah melalui proses Materuna Nyoman.
Jika anak laki-laki belum melalui upacara Materuna Nyoman, maka mereka belum dianggap dewasa secara adat meskipun secara fisik sudah dewasa. Namun, upacara ini dilaksanakan agar ke depannya para remaja laki-laki dapat memimpin Tenganan dan menjalankan awig-awig.
Jadi yang berhak untuk memimpin Tenganan adalah masyarakat yang memiliki kecakapan dan pengetahuan pemerintahan tentang Tenganan. Hal itu yang mendasari para leluhur masyarakat Desa Tenganan membuat sistem pendidikan secara adat.
Tahapan Prosesi Tradisi Metruna Nyoman
1. Tahap Awal
a) Meajak-ajakan
Suatu usaha pendekatan yang dilakukan antar keluarga yang memiliki anak laki-laki dan diperkirakan sudah siap dan mampu.
b) Melali
Setelah tahap meajak-ajakan, selanjutnya melakukan tahap melali. Pada tahap ini dilakukan sebagai permohonan izin dan restu kepada Tuhan dan leluhur dengan melakukan persembahyangan ke seluruh pura di desa adat setempat. Proses ini dilaksanakan selama tiga hari sekali pada setiap malam beteng.
2. Tahap Inti
a) Upacara Basen Pamit, persembahyangan yang dilakukan wajib oleh seluruh peserta Metruna Nyoman
b) Pedewasaan atau Kegedong, yaitu peserta wahub untuk memangkas rambut hingga botak dan melaksanakan potong gigi
c) Metamiang, proses berkeliling dan berkunjung ke gantih subak Peserta wajib membawa tamiang (perisai terbuat dari anyaman ata) di depan dada.
d) Melegar, peserta akan diajak berkeliling desa namun tidak membawa tamiang (perisai terbuat dari anyaman ata) di depan dada.
3. Tahap Akhir
a) Ngintarang Katekung, Peserta akan diajak berkeliling mengenal seluruh wilayah desa.
b) Namiu Katamiu, dilaksanakan di masing-masing Bale Petemu asal peserta Materuna Nyoman secara bergilir dengan menikmati hidangan.
c) Ngejot Gede, pada tahap ini peserta Materuna Nyoman dengan memberikan berbagai macam olahan makanan kepada para daha.
d) Ngetog, peserta mengunjungi Gantih Subak (asrama perempuan) kemudian mengetuk pintu asrama yang dilakukan oleh Jro Mekel dan mengucapkan kata-kata suci dengan maksud membangunkan para daha bahwa hari sudah pagi.
e) Ketinggal. Ini merupakan proses akhir dari tradisi Metruna Nyoman. Para peserta akan mendapatkan wejangan dari Jro Mekel.
Artikel ini ditulis oleh Hanna Patricia M. Lubis peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(nor/nor)