Bali memiliki warisan budaya kuno yang disebut dengan kain tenun Gringsing. Pembuatan kain Gringsing berasal dari tangan penduduk Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem atau dikenal dengan Desa Bali Agai. Penduduk Desa Bali Aga konon merupakan penduduk asli Bali.
Kain Gringsing merupakan salah satu warisan budaya kuno Bali yang sampai saat ini masih bertahan eksistensinya. Kain Gringsing sendiri merupakan satu-satunya tenun ikat ganda asal Indonesia.
Yuk simak sejarah, proses pembuatan, hingga motif kain Tenun Gringsing berikut ini yang dirangkum detikBali dari berbagai sumber.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Kain Gringsing
![]() |
Gringsing diambil dari 2 kata, yaitu gring yang berarti sakit dan sing yang berarti tidak. Secara harfiah, kain Gringsing dimaknai sebagai kain magis yang membuat pemakainya terhindar dari hal-hal buruk.
Konon, Kain Gringsing merupakan pemberian Dewa Indra. Dewa pelindung manusia dalam agama Hindu.
Kisahnya pada saat itu, Dewa Indra sedang mengagumi keindahan langit malam. Saking kagumnya, ia mencoba menggambarkannya pada umat manusia pilihannya, yaitu penduduk desa Tenganan atau desa Bali Aga.
Para penduduk wanita Tenganan diajarkan teknik menenun kain Gringsing demi mengabadikan keindahan bintang, bulan, matahari, dan hamparan langit lainnya. Dari sanalah kain Gringsing tercipta dengan nuansa gelap pekat, seperti gelapnya malam.
Kain Gringsing dipercaya mengandung kesaktian Dewa Indra yang mampu menyembuhkan penyakit.
Menurut pakar ahli kain dan tekstil dunia, kain Tenun Gringsing termasuk sebagai kain tenun yang langka. Penguasaan teknik tenung Gringsing hanya dapat ditemukan di tiga tempat di dunia, yaitu India, Jepang, dan Indonesia.
Dugaan bahwa masyarakat Tenganan pada awalnya adalah imigran dari India kuno karena juga penganut Dewa Indra. Para imigran tersebut kemudian membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orissa atau Andhra Pradesh yang kemudian dikembangkan secara independen di Tenganan.
Ada pula kemungkinan bahwa imigran tersebut menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Nusantara.
Kain Tenun Gringisng disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapanca, di mana tertulis di salah satu kereta kencana Hayam Wuruk, Sri Nata Wilwatikta, terbuat dari kain Gringsing. Hingga saat ini, Kain Gringsing masih digunakan untuk berbagai upacara, seperti upacara keagamaan, upacara kikir gigi, dan upacara pernikahan.
Proses Pembuatan Kain Gringsing
![]() |
Proses pembuatan kain Tenun Gringsing cukuplah rumit dan memakan waktu yang lama. Proses penenunan kain Gringsing memakan waktu kurang lebih dua bulan, dan untuk motif ikat ganda bisa memakan waktu lebih lama lagi, yakni 2-5 tahun.
Yang menarik, pembuatan kain Gringsing dilakukan tanpa bantuan mesin apapun sehingga 100% buatan tangan.
Dalam proses pewarnaannya, kain Gringsing tidak dapat menghasilkan warna pekat dan tahan lama. Apabila diberi warna yang diberikan tidak dihasilkan oleh minyak kemiri.
Demi mendapatkan warna yang sempurna pada motif Tenun Gringsing, proses pewarnaan ini membutuhkan waktu lebih dari tiga bulan. Dengan dilakukan secara berulang sesuai pakem yang ditentukan secara turun temurun.
Ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga serta melindungi keaslian dan nilai ritual kain tenun Gringsing.
Nurul Akriliyati, Textile Researcher and Development, dalam lokakarya "Spice Up Your Fashion: Kain Tenun Gringsing" yang diadakan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dan Perum Produksi Film Negara menyampaikan bahwa kain Gringsing dijual dengan harga yang sangat mahal.
Tentu alasannya karena pembuatannya cukup sulit dan lama. Ketersediaan bahan yang terbatas juga mempengaruhi jumlah pembuatannya sehingga Kain Gringsing dapat dibilang cukup langka ditemukan.
Makna Motif dan Warna Kain Gringsing
![]() |
Motif dan warna yang indah pada kain Gringsing memiliki banyak makna yang melambangkan keseimbangan antar manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan. Pada motif lubeng, motif yang bercirikan kalajengking, sering digunakan sebagai busana adat dalam upacara keagamaan.
Kemudian motif sanan empeg yang identik dengan kotak poleng merah hitam. Lalu terdapat motif cecempakaan yang dikenal dengan motif bunga cempaka, dan sering digunakan sebagai busana adat dalam upacara keagamaan.
Ada pula motif cemplong, yang bercirikan sebuah bunga besar di antara bunga-bunga yang kecil di sekitarnya. Selain itu ada juga motif tenun yang menggunakan tokoh pewayangan.
Namun tak hanya motif, warna yang digunakan di kain Gringsing memiliki makna yang berbeda pula. Kain Tenun Gringsing secara umum memiliki tiga warna yang disebut dengan Tridatu, yaitu warna merah, kuning, dan hitam.
Warna merah berasal dari akar mengkudu, melambangkan api sebagai panas bumi sumber energi dan kehidupan di bumi. Kemudian warna kuning dari campuran minyak kemiri, melambangkan angin atau oksigen dalam setiap kehidupan manusia.
Sedangkan warna hitam yang berasal dari pohon taum, yang melambangkan air pemberi penghidupan bagi seluruh makhluk di bumi.
Umumnya dalam acara-acara adat, kain tenun Gringsing biasanya digunakan sebagai selendang atau senteng oleh wanita, sedangkan pria digunakan sebagai ikat pinggang.
Digunakan Sebagai Cenderamata KTT G20 Bali
![]() |
Pada pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2022 yang diadakan di Bali, kain Tenun Gringsing terpilih sebagai cenderamata KTT G20.
Menariknya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenprekraf/Baparekraf) juga akan berupaya mendorong kain tenun Gringsing agar dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.
Upaya tersebut didorong oleh fakta bahwa kain Tenun Gringsing merupakan salah satu warisan budaya kuno Bali yang masih bertahan hingga saat ini dengan teknik menenun yang sangat langka.
Artikel ini ditulis oleh Annisa Anggraeni peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka MSIB.
(nor/irb)