Sekaa Taruna (ST) Dharmagargitha Banjar Suwung Batan Kendal, Sesetan, Denpasar, membuat sebuah ogoh-ogoh yang terbuat dari kardus dan limbah organik. Konseptor ogoh-ogoh I Wayan Pasek Ristawan menceritakan ia mulai terpikir menciptakan karyanya pada awal 2023.
"Sebelumnya sudah diminta sekaa taruna untuk membuat konsep, ya saya nunggu dulu. Saya kan nyari referensi, influence dari luar karena ikut kompetisi juga," katanya kepada detikBali, Minggu (5/3/2023).
Ia terlebih dahulu melihat ogoh-ogoh yang pernah dibuat dan yang sudah pernah ada di ST lain. "Jadi munculnya ide ini tidak original juga, mengadopsi yang lain," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang berprofesi sebagai guru seni tersebut mengatakan ST Dharmagargitha mengusung tema Amurkaning Pertiwi. Tema tersebut diibaratkan kemarahan bumi yang divisualisasikan pada dua item.
Pertama di bagian atas adalah makhluk atau binatang yang dilindungi. Seperti macan, orang utan dan sebuah makhluk imajinasi berwujud badak.
"Untuk melindungi dan marah ketika manusia tidak mampu menjaga keseimbangan alam, jadi makhluk hidup pun terganggu ekosistemnya," terangnya.
Kemudian di bagian bawah adalah berwujud kura-kura atau dalam mitologi Bali bernama Bedawang Nala.
"Saya modif sedikit karakter wajahnya agak kekinian, tapi tidak mengurangi esensi. Nanti masuk karakter dari kostumnya dia atau mahkotanya nanti ada ukiran Bali nanti ada di sana," ucapnya.
Pasek Ristawan mengatakan proses pembuatan ogoh-ogoh dari kardus memiliki tantangan tersendiri, terutama pada tahap plastis atau pengubahan bentuk kardus menjadi wujud binatang. Sebab, menurutnya kardus memiliki karakter bahan kaku.
"Yang kedua tidak menggunakan clay dari dulu. Memang kalau proses pembuatan ogoh-ogoh tanpa clay itu lebih rumit bisa ditanya ke si pembuat," jelasnya.
Selain kardus, Padek Ristawan juga memanfaatkan limbah organik. Seperti kulit salak, kulit kayu, serabut kelapa. Kemudian pelepah pisah, cangkang telur dan biji beras ketan hitam dan kacang hijau serta serbuk kayu.
Pasek berharap karya yang ditaksir menghabiskan dana sebesar Rp 25 juta itu bisa menyadarkan manusia pentingnya menjaga keseimbangan alam.
"Untuk mengingatkan manusia untuk menjaga alam dan alam itu juga bisa rusak. Selain ulah manusia, alam rusak karena alam itu sendiri. Contohnya gempa bumi, gunung meletus," pungkas Pasek Ristawan.
(nor/iws)