Desa Adat Kukuh di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali, tidak hanya memiliki keunikan berupa hutan monyet yang dikenal dengan nama Alas Kedaton. Dari sisi tradisi, Desa Adat Kukuh juga memiliki keunikan tersendiri.
Terutama saat persiapan upacara piodalan di pura desa adat setempat yang rutin dilaksanakan setelah Galungan. Keunikan ini pada persiapan sarana upacara berupa daging babi yang tidak boleh disembelih di sembarang tempat.
Lazimnya, babi yang dagingnya akan dipakai sebagai sarana upacara akan disembelih di area dekat pura. Namun, di Desa Adat Kukuh, babi tersebut harus disembelih di balai panjang yang ada di pura desa adat setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemotongan dilakukan di bawah, di natar atau halaman pura. Tapi di desa adat kami, harus dilakukan di balai panjang," jelas Bendesa Adat Kukuh I Gusti Ngurah Artha Wijaya, Minggu (5/3/2023).
Ia menyebutkan tradisi ini rutin dilakukan saat upacara piodalan atau pujawali di Pura Desa Adat Kukuh yang rutin dilaksanakan saat Ulihan atau empat hari setelah Galungan. "Dan yang menyembelih pertama kali harus seorang Kubayan (tokoh klan Kubayan)," tegasnya.
Secara spesifik penyembelihan babi untuk sarana upacara piodalan di Pura Desa Adat Kukuh dilakukan di bagian selatan balai panjang. "Balai panjang ini terbagi empat ruang dan memiliki 16 adegan (tiang). Penyembelihan dilakukan di ruang selatan yang disebut dengan dapur," imbuh I Gusti Ngurah Artha Wijaya.
Babi yang disembelih itu dibersihkan, selanjutnya diolah pada ruang kedua dari balai panjang tersebut. "Hasil olahannya dipakai untuk upacara," ujarnya.
Ia mengatakan tradisi menyembelih babi di balai panjang Desa Adat Kukuh ini pantang untuk dilanggar. Kalaupun dilanggar, daging yang akan dipakai nantinya tidak layak dipakai sebagai sarana upacara.
"Dulu, saya lupa tahunnya, tradisi ini sempat dilanggar. Terjadi keanehan, pada daging babinya keluar ulat sehingga tidak bisa dipakai untuk keperluan upacara," tuturnya.
Dari pengalaman itulah, sampai sekarang tradisi ini pantang dilanggar oleh warga desa adat setempat. Meskipun tradisi ini bersumber dari tutur para tetua setempat yang berkembang dari generasi ke generasi.
"Sejarahnya pasti ada. Namun semua sejarah yang berkaitan dengan Desa Adat Kukuh berupa tutur yang berkembang secara turun temurun kepada generasi berikutnya. Meski begitu, tradisi ini masih tetap dipertahankan," pungkasnya.
(irb/BIR)