Jejak etnis Tionghoa di Indonesia dapat dijumpai di beberapa daerah. Salah satunya di wilayah utara Kabupaten Badung, tepatnya di Desa Carangsari, Kecamatan Petang.
Keluarga keturunan Tionghoa di Carangsari bermukim di Banjar Pemijian, yakni dusun yang dekat dengan kawasan Pasar Carangsari dan Puri Carangsari. Deretan rumah bercorak China di dusun itu mencirikan keberadaan etnis Tionghoa masih ada hingga kini. Begitu pula kuburan China yang berlokasi di sebelah barat desa.
Warga keturunan Tionghoa telah melebur menjadi warga adat di Dusun Pemijian sejak beratus-ratus tahun lalu. Segala aktivitas dan perayaan keagamaan di desa adat diikuti layaknya warga asli Carangsari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu tokoh Tionghoa di Banjar Pemijian Carangsari, Nyoman Tapa (70) menyebut kini hanya ada 17 keluarga keturunan China di Carangsari. Mereka tergabung dalam wadah perkumpulan Sari Semadi.
Tapa yang juga bernama Lie Liang Tjen menjelaskan dahulunya penduduk etnis Tionghoa di Carangsari adalah pecahan dari keluarga Tionghoa yang bermukim di Batur, Kintamani, Bangli. Mereka diminta agar menyebar tinggal sampai ke selatan.
"Dari cerita tetua kami, dulunya sempat ada gesekan di Kintamani. Sampai di simpang empat desa kami bertemu tokoh Puri Kawan dan diminta tinggal di barat puri. Leluhur kami konon jadi juru masak di puri dan karena lama, akhirnya menetap," tutur Nyoman Tapa.
Keluarga etnis Tionghoa merasa sangat disayangi di Carangsari. Hubungan mereka dengan warga setempat terjalin sangat baik. "Kami berbaur dengan warga lokal sejak lama. Kami sudah menjadi warga Carangsari," ucap Tapa.
Menurutnya, tidak ada tradisi atau ritual berbeda. Mereka sama-sama memuja leluhur, sama seperti warga Bali umumnya. Bahkan saat ada upacara agama di beberapa pura di Carangsari, warga etnis Tionghoa juga terlibat.
Nah, jelang Imlek, kata Tapa, warga Tionghoa di Banjar Pemijian tidak menyiapkan sesuatu yang berlebihan. Mereka hanya biasa sembahyang dan melaksanakan beberapa tradisi seperti sembahyang sam seng dan sembahyang ngo seng.
"Kalau sam seng, biasanya ada hidangan babi yang dibelah. Di dalamnya ada ikan, daging ayam. Ada juga yang ngo seng lebih besar lagi. Lebih lengkap. Kami persembahkan setiap Imlek dan hari raya lainnya. Termasuk yang punya Kongco di rumah," tegas kakek yang khas dengan jenggotnya ini.
Menurut dia, lewat sembahyang itu, warga keturunan Tionghoa yang sudah memohon kepada para dewa diyakini bakal mendapat berkah melimpah. "Jadi sembahyang ala Bali dan ala China masih kami jalankan. Hidup seperti dua tangan, kanan dan kiri beriringan," pungkasnya.
Bukti dari eksistensi warga Tionghoa di Carangsari juga diungkapkan pemangku Pura Dalem Puri Carangsari, Jro Mangku Nyoman Natra. Selama pelaksanaan piodalan atau perayaan suci di pura, warga etnis China ikut dalam prosesi upacara.
Sebab dalam pura itu juga terdapat satu bangunan suci yang disebut palinggih Siwa Budha, berupa arca bersenjatakan bajra dan genta. Palinggih ini dipuja oleh empat klan atau soroh, di antaranya Anak Agung, Ida Bagus, pradewa, pragusti yang di dalamnya juga turut warga keturunan Tionghoa.
"Jadi setiap perayaan agama di pura ini, kami semua gotong royong. Tidak ada pembeda karena semua sudah jadi warga Carangsari. Bahkan saudara Tionghoa saat ada upacara kematian di kuburan China, juga tetap berhubungan dengan pura ini," pungkas Mangku Nyoman Natra.
(irb/bir)