Mengenal Kesenian Bumbung Kepyak Asli Jembrana

Jembrana

Mengenal Kesenian Bumbung Kepyak Asli Jembrana

I Putu Adi Budiastrawan - detikBali
Minggu, 11 Des 2022 18:42 WIB
Salah satu sekaa Bumbung Kepyak di Tempek Palamertha, Banjar Adat Kertha Sentana, Desa Adat Kertha Jaya, Lingkungan Dewasana, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali, Minggu (11/12/2022).
Salah satu sekaa Bumbung Kepyak di Tempek Palamertha, Banjar Adat Kertha Sentana, Desa Adat Kertha Jaya, Lingkungan Dewasana, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali, Minggu (11/12/2022). Foto: I Putu Adi Budiastrawan/detikBali
Jembrana -

Kesenian asli Kabupaten Jembrana, Bali, kini sudah mulai dibangkitkan kembali oleh masyarakat setempat. Salah satunya Bumbung Kepyak yang menjadi hiburan masyarakat Tempek Palamertha, Banjar Adat Kertha Sentana, Desa Adat Kertha Jaya, Lingkungan Dewasana, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana.

Berbeda dengan bumbung pada umumnya, Bumbung Kepyak memiliki beberapa alat musik yang menjadi ciri khas seperti alat pelengkap berupa suling dan kempul yang terbuat dari bahan bambu. Selain itu, ada tiga alat musik tradisional yang menjadi ciri khas utama, di antaranya kepyak, gem, dan kendang berbahan bambu.

Kelian Tempek Palamertha, I Putu Santiasa (40) saat ditemui menjelaskan, berdasar cerita turun temurun orang tua (penglingsir), kesenian Bumbung Kepyak diperkenalkan oleh seorang tokoh seniman bernama I Ketut Gender sekitar tahun 1942. "Diperkirakan berawal dari keisengan almarhum Gender bersama sejumlah penglingsir untuk membuat hiburan," ungkapnya, Minggu (11/12/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk pementasan Bumbung Kepyak ini, ia menjelaskan, melibatkan sedikitnya 19-25 orang personel, di antaranya pemain suling, pemain kemple, pemain cengceng, pemain kendang, pemain gem, dan pemain kepyak. Selain itu juga disuguhkan Tarian Bumbung oleh seorang penari dan penjaga.

"Cara memainkan Bumbung Kepyak pada setiap alatnya berbeda-beda, seperti contoh kendang, gem, serta kepyak yang menggunakan batang bambu, dimainkan dengan cara ditumbukkan di alas kain ataupun langsung di lantai. Khusus untuk memainkan kepyak berupa sepasang bambu yang di atasnya sudah di belah, dimainkan dengan cara dipukulkan antar kepyak," papar Santiasa.

ADVERTISEMENT

Benturan dari dua bilah bambu yang di atasnya telah dibelah itu menimbulkan bunyi "pyak" seperti batang bambu yang pecah, sehingga diyakini menjadi sumber nama Bumbung Kepyak. "Kalau kendang pada Bumbung Kepyak ini tidak pakai kendang biasa. Tetapi pakai sepasang batang bambu lanang-wadon (laki-laki, perempuan) berukuran besar yang juga dimainkan dengan cara dibenturkan ke lantai," jelasnya.

Mengenai bahan bambu yang digunakan di masing-masing alat musik pada kesenian Bumbung Kepyak ini berbeda-beda, salah satunya bahan kendang menggunakan batang bambu tamblang. Kemudian gem pakai bambu petung yang biasa dipakai jegog, sedangkan kepyak pakai bambu santong.

"Hanya ada satu alat yang tidak dari bambu, yakni kecek. Kami pakai hanya satu kecek berbahan perunggu," ujar Santiasa.

Penari dan Pengawal Jagabaya

Di samping ciri khas alat-alat musik Bumbung Kepyak, Santiasa menjelaskan, dalam pementasan juga diisi pertunjukan joged dan ibingi-ibingan seperti bumbung pada umumnya. Namun yang menjadi ciri khas, ketika sesi pementasan joged ada satu orang personel berpakaian pengawal yang bertugas mengawal penari joged dengan membawa sebuah klewang (parang) bertujuan melindungi penari.

"Pengawal yang diistilahkan sebagai "jagabaya" penari ini selama pementasan joged akan duduk di sebelah sekaa tabuh bertugas mengawal penari dan mengawasi pengibing agar tidak sampai bersikap kurang baik kepada penari. Ketika ada pengibing yang bersikap mengarah porno, jagabaya penari joged itu akan langsung menghentikannya," kata Santiasa.

Selain mengawal penari joged, jagabaya juga bertugas memastikan celempik (semacam lilin tradisional dengan tatakan batok kelapa berisi minyak kelapa dan sumbu), yang juga dipasang pada setiap pementasan Bumbung Kepyak agar tidak sampai mati. "Jadi kalau sudah agak redup, jagabayanya yang mengangkat sumbu menggunakan ujung klewangnya agar tidak sampai mati," jelasnya.

Rekonstruksi Bumbung Kepyak Tahun 1994

Menurut Santiasa, kesenian Bumbung Kepyak ini sempat beberapa kali vakum dan nyaris punah. Kemudian sekitar tahun 1994, kesenian Bumbung Kepyak berusaha kembali direkonstruksi masyarakat melalui dukungan Pemkab Jembrana pada kepemimpinan Bupati Ida Bagus Indugosa. Sehingga berhasil dibuat perangkat alat-alat Bumbung Kepyak di Tempek Palemertha dan diresmikan tahun 1998.

Setelah berhasil dibangkitkan pada tahun itu, kesenian Bumbung Kepyak kembali diundang tampil mengisi beberapa acara yang digelar Pemkab Jembrana. Bahkan tahun 2000-2010 sempat tampil hingga dua kali di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB). "Seiring perkembangan zaman, keberadaan Bumbung Kepyak ini agak meredup karena jarang mendapat kesempatan pentas," kata Santiasa.

Karena jarang tampil, kesenian Bumbung Kepyak nyaris kehilangan pakem aslinya, sehingga ditampilkan secara kolaborasi dengan musik modern dan menggunakan sound system dengan ditambahkan beberapa alat musik lain seperti gitar. "Itu sempat menjadi pergunjingan. Tetapi kami juga tidak salahkan sampai dipakai tampil begitu, karena kesenian bumbungnya ini juga jarang ditampilkan," ucap Santiasa.

Santiasa menambahkan, pihaknya bersama Sekaa Bumbung Kepyak Kelurahan Pendem berusaha merekonstruksi kembali pakem Bumbung Kepyak pada tahun 2020. Dari upaya rekonstruksi dengan menggali informasi dari para mantan anggota sekaa sebelumnya, perlahan kesenian Bumbung Kepyak sudah bisa dikembalikan ke pakem aslinya.

"Sekarang juga sudah ada beberapa generasi muda yang kami latih. Termasuk untuk penari jogednya, ada dua penari yang juga generasi penari joged Bumbung Kepyak yang ada sebelumnya," imbuh Santiasa.

Ia juga berharap kesenian Bumbung Kepyak bisa tetap lestari di Jembrana, terlebih kini kesenian ini sudah mulai diminati generasi muda, sehingga bantuan pemerintah sangat diperlukan, terutama saat pemeliharaan alat musiknya. "Selama ini perawatan kami gunakan dana swadaya warga, jadi kesenian yang sudah dibangkitkan ini jangan sampai meredup, bahkan hilang," tandasnya.




(irb/dpra)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads