Benarkah Tidak Boleh Membaca Buku Saat Hari Raya Saraswati?

Benarkah Tidak Boleh Membaca Buku Saat Hari Raya Saraswati?

I Wayan Selamat Juniasa - detikBali
Sabtu, 22 Okt 2022 18:12 WIB
Ilustrasi Dewi Saraswati - Hari Raya Saraswati dirayakan setiap Sabtu atau saniscara umanis wuku watugunung sebagai perayaan turunnya ilmu pengetahuan.
Ilustrasi Dewi Saraswati - Hari Raya Saraswati dirayakan setiap Sabtu atau saniscara umanis wuku watugunung sebagai perayaan turunnya ilmu pengetahuan. (Widyartha Suryawan/detikBali)
Karangasem -

Umat Hindu kembali merayakan Hari Raya Saraswati pada saniscara umanis watugunung atau Sabtu (22/10/2022). Berdasarkan tradisi Hindu di Bali, Hari Raya Saraswati dirayakan dengan mengupacarai pustaka, lontar, atau buku.

Ada anggapan yang berkembang di masyarakat Bali bahwa tidak boleh belajar maupun membaca buku saat Hari Raya Saraswati. Lantas, benarkah anggapan tersebut?

Dosen Agama Hindu STKIP Agama Hindu Amlapura, I Komang Badra menyebut anggapan yang acap kali diungkap saat Hari Raya Saraswati itu sebenarnya kurang tepat. Menurutnya, orang tidak mungkin membaca lontar maupun buku-buku katika sedang diupacarai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bukan berarti tidak boleh membaca. Namun, karena kita sedang menghormati turunnya ilmu pengetahuan, sebaiknya biarkan dulu diupacarai," tutur Badra kepada detikBali, Sabtu (22/10/2022).

Hal ihwal yang berkaitan dengan anggapan tidak boleh membaca saat Hari Raya Saraswati juga pernah disinggung oleh Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Acharyananda. Dalam sebuah dharma wacana tentang Saraswati, Ida Pandita menyebut yang tidak dibenarkan saat Hari Raya Saraswati adalah mematikan aksara atau membunuh sastra.

Sebab, aksara adalah perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewanya ilmu pengetahuan. Aksara membentuk sastra, sastra membentuk jnana. Itulah sebabnya, menghormati ilmu pengetahuan juga berarti menghormati aksara, menghormati Sang Hyang Aji Saraswati.

Badra menambahkan, Hari Raya Saraswati tak hanya untuk mengupacarai buku, lontar, dan media pembelajaran lainnya. Hari Raya Saraswati juga menjadi momen untuk untuk merapikan, membersihkan, dan merawat sumber ilmu pengetahuan tersebut.

"Ini bukan bendanya yang kita hormati. Bendanya kita rawat, isinya yang kita hormati, sehingga ilmunya bisa digunakan dengan tepat dan berguna untuk orang banyak," imbuh Badra.

Adapun sarana upacara yang digunakan untuk mengupacarai pustaka atau lontar saat Hari Raya Saraswati yaitu sesayut Saraswati. Selain itu, sebagai bentuk bhakti terhadap ilmu pengetahuan, bisa juga menghaturkan banten pejati.

Setelah pagi harinya mengupacarai pustaka, lontar, maupun buku-buku, malam harinya dilaksanakan malam sastra. Malam sastra merupakan bentuk introspeksi diri bahwa manusia tidak boleh angkuh atas ilmu pengetahuan yang sudah diterima melalui proses belajar.

Malam sastra di Hari Saraswati dapat dirangkai dengan timbang pandang tentang sastra dan ilmu pengetahuan. Hanya saja, kegiatan seperti itu belum cukup populer di Bali dan lebih banyak dilakukan oleh jro mangku, dosen, maupun penekun sastra lainnya.

"Malam sastra menjadi sarana untuk merenung dan introspeksi diri. Sebab, setinggi apapun sastra yang kita miliki, jangan sampai membuat kita sombong. Malahan harus terus belajar dan belajar," imbuhnya.

"Artinya kita jangan hanya mempelajari tentang kewibawaan, kehebatan, kepintaran sehingga merasa paling hebat. Tapi juga harus belajar kebijaksanaan, rendah hati, sehingga ilmu yang kita pelajari akan berguna untuk orang banyak dan yang lainnya," tambah Badra.

Untuk diketahui, Dewi Saraswati adalah dewanya ilmu pengetahuan. Dalam mitologi Hindu, Dewi Saraswati merupakan sakti dari Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta.

Dewi Saraswati dilambangkan sebagai seorang dewi cantik bertangan empat yang masing-masingnya memegang alat musik, genitri, pustaka suci, dan bunga teratai. Saraswati sering digambarkan duduk atau berdiri di atas bunga teratai dengan angsa sebagai wahana atau kendaraan sucinya. Selengkapnya baca di sini.




(iws/hsa)

Hide Ads