Tumpek Wariga, Tradisi Mengupacarai Pohon di Bali-Haturkan Bubuh Sumsum

Tumpek Wariga, Tradisi Mengupacarai Pohon di Bali-Haturkan Bubuh Sumsum

Chairul Amri Simabur - detikBali
Sabtu, 14 Mei 2022 14:01 WIB
Salah satu warga Banjar Tandan, Desa Gubug, Ni Nyoman Dian Trisna Dewi, menghaturkan sesajen atau banten kepada salah satu pohon di kebunnya saat Tumpek Wariga, Sabtu (14/5/2022).
Salah satu warga Banjar Tandan, Desa Gubug, Ni Nyoman Dian Trisna Dewi, menghaturkan sesajen atau banten kepada salah satu pohon di kebunnya saat Tumpek Wariga, Sabtu (14/5/2022). Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali
Tabanan -

Hari ini, Sabtu (14/5/2022), umat Hindu di Bali, merayakan hari Tumpek Wariga. Di hari ini, umat Hindu di Bali memberi penghormatan kepada alam dan lingkungan, khususnya kepada tumbuh-tumbuhan.

Penghormatan tersebut dilakukan dengan menghaturkan sesajen. Salah satunya bubur sumsum.

Ini juga yang membuat Tumpek Wariga dikenal juga dengan Tumpek Bubuh (bubur) atau Uduh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada juga yang menyebutnya dengan Tumpek Pengatag karena dalam proses mengaturkan sesajen kepada tumbuh-tumbuhan disertai ngatag.

Kata ngatag artinya menggetok-getokkan parang atau pisau pada batang tumbuhan atau pepohonan yang diupacarai.

ADVERTISEMENT

Menariknya lagi, dalam tradisi ini ada semacam komunikasi antara manusia dan tumbuhan yang diupacarai.

Komunikasi itu semacam doa atau harapan agar tumbuhan itu kelak berbuah dengan baik. Jumlah buahnya nanti melimpah.

Begitu juga tumbuhan lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan hari raya Galungan yang akan jatuh pada 25 hari ke depan setelah Tumpek Wariga.

Karena itu, dalam kalender Bali, Tumpek Wariga pasti jatuh pada 25 hari sebelum hari raya Galungan.

Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Tabanan, I Wayan Tontra, menjelaskan bahwa perayaan Tumpek Wariga merupakan penjabaran dari salah satu inti konsep Tri Hita Karana. Yakni membangun hubungan yang selaras dengan alam, khususnya tumbuh-tumbuhan.

"Tanpa lingkungan dan alam, khususnya tumbuh-tumbuhan, manusia tidak akan bisa hidup sejahtera apalagi bahagia. Karena itu sepatutnya berterima kasih kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara yang pemelihara tumbuh-tumbuhan," jelasnya.

Upacara Tumpek Wariga umumnya dilakukan di kebun atau tegalan milik warga. Pada salah satu atau beberapa pohon buah akan dihaturkan sesaji dalam beberapa jenis bebantenan ditambah bubur sumsum.

"Yang lengkap bisa pakai pejati atau daksina. Dan ini pun semampunya. Yang mampu bisa dengan banten biasa ditambah bubur. Kalau di bawah (tanah) ditambah dengan segehan," jelasnya.

Ia menjelaskan, bubur pada upacara ini merupakan simbol kesuburan. "Simbol pupuk. Gebuh. Rabuk. Maknanya merabuki tumbuh-tumbuhan agar berkembang baik dan subur," imbuh Tontra.

Selanjutnya, nagtag yang dilakukan dengan cara mengetok-ngetokan parang atau pisau sebanyak tiga kali bermakna sebagai penyampaian harapan si pemilik kebun atau tegalan.

Harapannya tentu agar pepohonan yang ada di kebun atau tegalan mereka tumbuh subur dan berbuah banyak. Sehingga nantinya bisa dimanfaatkan untuk keperluan upacara saat hari raya Galungan.

Biasanya, saat nagtag, pemilik kebun atau tegalan akan menyampaikan kalimat dalam bahasa Bali sebagai berikut : Kaki kaki. Nini nini. Sarwa tumuwuh. Niki tiyang ngaturin bubuh mangde ledang tumbuh subur bin selai lemeng jani Galungan apang mabuah. Nged. Nged. Nged.

"Saat mengatakan Nged disertai dengan mengetok sebanyak tiga kali. Nged itu maksudnya agar buah dari pohon itu nantinya banyak. Berbuah lebat," pungkasnya.




(kws/kws)

Hide Ads