Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Nusa Tenggara Barat (NTB), Ni Ketut Wolini, mengkritik mekanisme penarikan royalti atas pemutaran lagu di kafe dan restoran. Ia menilai kebijakan tersebut belum memiliki dasar teknis dan petunjuk pelaksanaan yang jelas di daerah.
Hal itu disampaikan Wolini menanggapi kasus hukum yang menjerat Mie Gacoan di Bali. Gerai tersebut dilaporkan ke Polda Bali oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) karena diduga tidak membayar lisensi menyeluruh atau blanket license atas pemutaran lagu di gerainya, termasuk di Jalan Teuku Umar, Denpasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalah ini merembet hingga ke daerah lain. Banyak pengusaha hotel dan restoran yang justru takut memutar lagu.
Wolini menyebut belum ada penjelasan resmi mengenai prosedur penarikan royalti kepada pelaku usaha di daerah. Ia bahkan mengaku, sebagai Ketua PHRI NTB, belum pernah diajak berdiskusi oleh pihak terkait di daerah.
"Para pelaku usaha di daerah belum memperoleh penjelasan resmi mengenai prosedur penarikan royalti. Saya selaku ketua PHRI NTB mengaku belum pernah diajak berdiskusi oleh pihak terkait di daerah," kata Wolini di Mataram, Selasa (5/8/2025).
Ia juga mempertanyakan petunjuk teknis dan pelaksanaan larangan pemutaran lagu di kafe. Menurutnya, hingga kini PHRI pusat pun belum memberikan penjelasan teknis secara menyeluruh.
"Saya selaku ketua PHRI belum pernah diajak bicara di daerah. Kemana kita konsultasi?" katanya bertanya.
Komunikasi antara PHRI pusat dan pengurus daerah disebut masih minim. Koordinasi selama ini hanya dilakukan melalui jarak jauh dan tidak efektif untuk menangani persoalan secara langsung.
"Jadinya kalau PHRI pusat okelah. Tapi kan kita secara teknis di lapangan langsung gitu. Agak sulit kita. Nggak bisa koordinasi lewat handphone tidak maksimal," sebutnya.
Wolini juga menyoroti beban berlapis yang kini harus ditanggung pelaku usaha di sektor hotel dan restoran. Selain membayar pajak pusat dan daerah, mereka juga dibebani kewajiban membayar royalti lagu.
"Ini memberatkan hotel dan restoran. Walaupun dengan terpaksa teman-teman karena kan ancaman hukuman pidana. Semuanya sedikit-sedikit pidana sekarang," tegasnya.
Dorong Revisi Aturan Royalti
PHRI NTB berharap pemerintah mempertimbangkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menjadi dasar penarikan royalti lagu. Menurut Wolini, aturan tersebut perlu ditinjau ulang agar lebih adil bagi pelaku usaha daerah.
"Harapan kami dari PHRI ada revisi undang-undang itu. Ini memberatkan soalnya. Karena kita bayar pajaknya tinggi. Satu obyek pajak atau satu obyek usaha, misalnya nih restoran atau hotel, itu pajak daerah tinggi, pajak pusat juga. Lagi ini royalti. Belum pajak yang lainnya," tandasnya.
Simak Video "Video Menekraf soal Pembahasan Revisi UU Hak Cipta: Sebentar Lagi Akan Dimulai"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)