Kisah Inspiratif Blessing Child Cafe: Anak Difabel Layani Pelanggan

Denpasar

Kisah Inspiratif Blessing Child Cafe: Anak Difabel Layani Pelanggan

I Wayan Sui Suadnyana, Aryo Mahendro - detikBali
Sabtu, 13 Jul 2024 16:00 WIB
Anak difabel down syndrome, autisme, dan keterbelakangan mental bekerja melayani pelanggan di Blessing Child Cafe, Minggu (7/7/2024). (Aryo Mahendro/detikBali)
Foto: Anak difabel down syndrome, autisme, dan keterbelakangan mental bekerja melayani pelanggan di Blessing Child Cafe, Minggu (7/7/2024). (Aryo Mahendro/detikBali)
Denpasar -

Tidak semua orang nyaman dengan keberadaan orang berkebutuhan khusus yang bekerja sebagai pramusaji di restoran atau kafe. Beberapa tamu antusias, tetapi ada juga yang memilih pergi ketimbang harus berhadapan dengan pramusaji difabel.

Situasi ini terjadi di Blessing Child Cafe, Jalan Danau Tamblingan Nomor 57, Sanur, Denpasar. Dayu Rasmi (20), Kirana Saraswati (18), Anak Agung Putri Nanda Pramesti (21), dan I Komang Angga Diva Praditya (18) adalah empat dari sepuluh anak difabel yang sedang menjalani magang di kafe tersebut.

"Ada tamu yang menolak flyer (selebaran isi menu) yang kami berikan. Ada juga tamu yang ketika duduk dan anaknya terlalu talkative, mereka walk out (pergi) karena tidak nyaman. Tetapi biasanya, tamu-tamu antusias," kata penggagas Blessing Child Cafe, Gita Christiana, Minggu (7/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikBali sempat menyambangi kafe yang baru buka sejak 30 Juni 2024. Dayu saat itu bertugas menyambut dan mengantar tamu ke meja kosong di kafe yang buka setiap pukul 16.00 WITA. Dia juga yang berupaya menarik pelanggan kafe dengan menyebarkan selebaran berisi daftar menu.

Setelah masuk kafe, Dayu mempersilakan tamu untuk duduk di meja kosong manapun yang tersedia. Tak lama kemudian, dia menawarkan sejumlah menu makanan dan minuman seperti croissant cokelat atau yakult mangga.

Namun, Dayu tidak bekerja sendiri karena dia penyandang down syndrome. Ada karyawan lain yang mendampingi saat berinteraksi dengan tamu. Selain Dayu, setiap anak difabel yang bekerja di kafe itu juga didampingi satu karyawan non-difabel.

"Jadi, memang sudah kami petakan. Mana anak yang cocok jadi pramusaji, bagian kitchen (dapur), dan mana yang pas di (posisi) penerima tamu. Anak-anak yang terima tamu," kata Gita.

Sepuluh anak difabel bekerja dalam dua shift. Empat anak bekerja mulai pukul 16.00 WITA, sedangkan sisanya mulai pukul 18.00 WITA. Selama tiga bulan pertama, mereka menjalani magang kerja di kafe itu tanpa digaji.

Gita mengatakan, selama tiga bulan pertama, mereka dilatih bekerja sesuai dengan tugas masing-masing. Selain itu, mereka berkesempatan untuk mengaktualisasikan diri hingga nanti mampu memiliki penghasilan sendiri.

"Ya, mereka akan digaji, tetapi tiga bulan magang ini, saya melihat resiliensi (kecakapan) mereka juga. Jadi selama tiga bulan ini mereka belajar dahulu," katanya.

Salah seorang pengunjung kafe, John Appleyard (68), warga Inggris, senang dengan keberadaan anak-anak difabel tersebut. Dia mengaku tidak heran karena banyak kafe di Inggris yang mempekerjakan orang dengan kebutuhan khusus.

"Saya kepala sekolah. Di sekolah saya juga ada siswa berkebutuhan khusus, tetapi di Britania Raya sudah banyak kafe yang ada pramusaji difabel sejak 30 tahun lalu," kata Appleyard.

Appleyard berharap ada banyak bidang yang memberi kesempatan kerja bagi anak difabel di Bali. Dia membandingkan dengan pemerintah negaranya yang memberikan pelatihan kerja dan pengawasan secara gratis seumur hidup bagi orang difabel mulai usia 21 tahun.

"Beri mereka kesempatan. Saya punya kelompok siswa usia 15 hingga 18 tahun. Sistem (pendidikan) di Britania Raya memberikan informasi lapangan kerja bagi mereka. Itu hal positif. Pemerintah kami juga memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan," katanya.




(hsa/hsa)

Hide Ads