Cerita Perajin Sanggah di Desa Munggu, Borongan Pernah Rp 300 Juta

Cerita Perajin Sanggah di Desa Munggu, Borongan Pernah Rp 300 Juta

Triwidiyanti - detikBali
Selasa, 21 Jun 2022 17:27 WIB
Potensi kerajinan merajan yang terus menggeliat di desa Munggu, Badung
Foto: Kerajinan sanggah di desa Munggu, Badung. (Triwidiyanti/detikBali)
Badung -

Seorang perajin sanggah, Made Sujana (38) mengaku pernah mendapat borongan untuk membuat pelinggih atau sanggah hingga mencapai Rp 300 juta. Pria yang merupakan warga Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali telah menikmati hasil dari usaha sanggah yang ia kembangkan, bernama Pradnya Jaya.

"Kalau borongan pernah sampai 200 juta - 300 juta, belum bersih kita pakai untuk beli material, ongkos tukang," terang Made Sujana.

Ia menceritakan perekonomian di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pasca pandemi COVID-19 kian menggeliat. Selain potensi pariwisata dengan keindahan pantainya, di desa ini juga dikembangkan potensi kerajinan pelinggih (sanggah).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sanggah merupakan tempat menaruh sesajen di Pura. Lokasi para perajin sanggah ini berada di Jalan Raya Pantai Munggu - Seseh.

Made mengaku merintis usaha sanggah dari nol sendirian. Sejak SMP katanya, ia sudah menekuni teknik membuat sanggah. "Dari seni cuma otodidak belajar, saya sudah suka membuat sendiri kalau sekarang astungkara sudah 9 punya tukang," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Ia mengakui keuntungan dari usaha sanggah sangat menjanjikan. Jika ada proyek pemesan dia bisa mendapatkan keuntungan hingga ratusan juta rupiah. Biasanya pelinggih ini banyak dipesan dari wilayah Kuta, Seminyak dan Denpasar.

"Saya kalau teknik sudah tahu, tamat SMA saya di rent car tapi saat itu saya lihat peluangnya tipis dan saya tidak fokus akhirnya saya fokus sebagai perajin sanggah," katanya.

Sekali pembelian batu alam dia menghabiskan dana Rp 6 juta untuk 1 rit (1 truk), kemudian ia olah di gudang menjadi pelinggih.


Untuk proses pengerjaan pelinggih atau sanggah dengan jumlah 5 - 6 dapat dikerjakan kurang lebih 4 bulan.

"Waktu covid buka cuma sepi 1-2 orang kalau di Bali kan ada unsur waktunya seperti ini Galungan, habis Galungan orang Bali tidak boleh membuat bangunan kecuali setelah 1 bulan Galungan jadi kita tunda proses pembuatannya," ucapnya.

Karena ini keyakinan leluhur (mungkin disuruh jeda), katanya, proses jeda waktu ini dinamakan Pegat Tuakan.

Hal ini hingga kini menjadikan kepercayaan orang Bali, khususnya di desa Munggu.

Perajin lainnya, Ketut Alit Sudarma warga asli Munggu, Kecamatan Mengwi, kabupaten Badung menceritakan sejak dari tahun 2011 membuka usaha kerajinan sanggah. Batunya menggunakan jenis batu alam yang dapat diperoleh atau membeli dari Karangasem

"Ini merupakan warisan leluhur, dan ini sudah ada sejak nenek moyang umat Hindu Bali," ungkapnya.

Menurutnya, desain tergantung dari pemesan. Namun ciri khas dari merajan yang ada di Munggu menggunakan style Bali.

Meski demikian Ketut mengaku lebih memilih membuat sanggah. Adapun jenis sanggah antara lain : Sanggah rong 3 kemulan (penyembahan kepada Dewa Siwa Hyang Guru), rong 1 taksu (memuja sang hyang taksu) rong 1 cathu (pemujaan gunung agung), Padma (pemujaan Ida Sang Hyang Widhi), tugu (pemujaan Ida Batara Kala atau Durga manik)

Kepala desa I Ketut Darta mengatakan, di desanya yang menekuni usaha kerajinan sanggah ada sekitar 10 KK. Menurutnya usaha sanggah mampu mengangkat ekonomi di desanya. Bahkan dari pelinggih ini, masyarakat Munggu kini memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik.

Tak pelak kerajinan ini pun akan terus dikembangkan di desanya agar tradisi leluhurnya tidak punah dimakan waktu.




(kws/kws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads