Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang dan Alih Fungsi Lahan (TRAP) DPRD Bali melakukan sidak ke Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Penebel, Selasa (2/12/2025). Sidak ini memicu polemik setelah pansus menemukan 13 bangunan diduga melanggar aturan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), termasuk warung berkedok gubuk di area persawahan.
Gubuk-gubuk di sepanjang jalur trekking itu awalnya dipakai petani untuk menyimpan hasil panen dan alat pertanian. Namun pansus mendapati sejumlah gubuk berubah fungsi menjadi tempat berjualan, hingga dianggap menyalahi pemanfaatan ruang.
Ketua Pansus TRAP, Made Suparta, meminta Pemkab Tabanan serta pengelola DTW Jatiluwih menindak tegas pelanggaran tersebut. Pansus juga mendorong agar gubuk diseragamkan demi menjaga lanskap sawah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemkab Tabanan Bersiap Menindak
Sekda Tabanan, I Gede Susila, menegaskan gubuk seharusnya hanya dipakai untuk kegiatan pertanian. Ia berjanji menindaklanjuti bangunan yang dialihfungsikan menjadi warung.
"Tentunya tidak boleh ada aktivitas seperti berjualan di tengah sawah menggunakan gubuk tersebut. Hanya digunakan untuk urusan pertanian," jelasnya.
Kasatpol PP Tabanan, I Gede Sukanada, menyebut pihaknya menunggu instruksi Satpol PP Provinsi terkait eksekusi bangunan.
"Saat ini belum ada arahan lebih lanjut. Kami masih menunggu proses yang dilakukan oleh Satpol PP Provinsi Bali seperti memanggil para pemilik bangunan," ujarnya.
Provinsi Siapkan Pemanggilan Massal
Satpol PP Bali menyatakan akan memanggil para pemilik 13 bangunan yang diduga melanggar tata ruang di kawasan subak Jatiluwih, Warisan Budaya Dunia (WBD).
"Kami minta untuk surat kelengkapan dari SP 1, 2, 3 yang sudah kawan-kawan di Tabanan lakukan... agar segera bisa kita tindaklanjuti sebagai pemanggilan, paling lambat minggu depan," kata Kepala Satpol PP Bali, I Dewa Nyoman Rai Dharmadi.
Pemeriksaan akan digelar serentak, sebelum hasilnya disampaikan kepada Pansus TRAP DPRD Bali.
"Terkait pembongkaran teknis ya kalau bisa dilakukan secara mandiri... Ya harapannya sih (dibongkar) mandiri," ujar Rai Dharmadi.
Warga dan Petani Melawan
Di sisi lain, para petani Jatiluwih melakukan aksi protes dengan memasang puluhan seng di lahan pribadi sebagai penolakan atas temuan pansus. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dan tidak dilibatkan dalam perkembangan pariwisata yang justru bertumpu pada sawah mereka.
Nengah Darmika Yasa, salah satu pemilik lahan, menyebut pemasangan seng dilakukan untuk menyuarakan keresahan petani.
"Saat ini ada 15 seng yang dipasang. Nanti menyusul lainnya di lahan petani yang dianggap melanggar oleh pansus," katanya.
Ia mengaku akomodasinya disegel mendadak saat sidak pansus. "Mereka tanpa permisi ke saya langsung main segel. Bahkan Surat Peringatan ke-3 baru saya terima hari ini (Kamis)," ujarnya.
Darmika Yasa menilai pemerintah tidak adil karena dirinya rutin membayar pajak tanah dan pajak rumah makan, namun justru usahanya ditutup.
Keluhan serupa disampaikan Wayan Kawiasa, petani yang mengubah gubuk bekas kandang sapi menjadi warung. Ia mengatakan petani lokal seperti "ayam bertelur di atas padi tapi tidak boleh makan padinya".
"Kami petani lokal seperti ayam yang bertelur di atas padi. Telurnya diambil, tapi kami tidak diperbolehkan makan padinya," kata Kawiasa.
Ia menyebut penghasilan petani tidak cukup sehingga membuka warung menjadi cara bertahan hidup di tengah pesatnya pariwisata Jatiluwih.
"Kalau ini ditutup, apakah pemerintah mau menjamin kehidupan anak, istri dan keluarga saya?" ujarnya.
Menurut Kawiasa, petani tidak mendapat insentif langsung dari pengelola DTW, hanya bantuan pupuk dan bibit. Ia juga khawatir sawah terancam karena minim regenerasi petani.
"Mungkin saya ini generasi terakhir yang mau jadi petani," ujarnya.
Putra Daerah Angkat Bicara
Polemik ini ikut disorot mantan Manajer Operasional DTW Jatiluwih, Nengah Sutirta Yasa. Ia menyebut masyarakat seperti dilarang ikut menikmati pariwisata yang tumbuh di tanah mereka sendiri.
"Kalau sudah seperti ini, secara pribadi sebagai putra daerah merasa menyesal. Seolah-olah masyarakat tidak boleh dilibatkan karena merusak. Padahal yang merusak itu justru pariwisata itu sendiri," kata Sutirta Yasa.
Ia menilai UNESCO seharusnya melarang aktivitas wisata jika status WBD begitu ketat diterapkan. Sutirta menyebut aturan adat sebenarnya membolehkan pemilik lahan membangun maksimal 10% dari luas lahan.
Menurutnya, penutupan 13 bangunan bisa membuat sekitar 300 orang kehilangan pekerjaan, sebagian besar anak petani lokal.
"Permasalahannya saat ini regenerasi petani di Jatiluwih sangat minim. Rata-rata umur petani berusia 50 tahun ke atas," ujarnya.
Simak Video "Video Gubernur Koster Bilang Begini soal Nasib Proyek Lift Pantai Kelingking"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)











































