Bahlil Terbitkan Aturan Luas Tambang untuk Perorangan-Koperasi, Begini Poinnya

Bahlil Terbitkan Aturan Luas Tambang untuk Perorangan-Koperasi, Begini Poinnya

Heri Purnomo - detikBali
Jumat, 21 Nov 2025 23:11 WIB
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. (Foto: Ilyas Fadilah/detikcom)
Jakarta -

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru saja menerbitkan aturan terkait tata kelola Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Aturan itu menjadi landasan bagi pemerintah daerah untuk mengelola Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Pemegang IPR adalah perorangan maupun koperasi.

Dilansir dari detikFinance, aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2025 tentang Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini ditandatangani Bahlil pada 14 November 2025 di Jakarta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Pasal 73 ayat 1 dalam aturan tersebut, WPR ditetapkan sebagai bagian dari Wilayah Pertambangan (WP) provinsi. Usulan WPR diajukan oleh gubernur dengan mempertimbangkan rencana WP dan adanya kegiatan penambangan oleh masyarakat setempat yang tidak memenuhi persyaratan perizinan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Kemudian, penetapan WPR juga harus memperhatikan aspek kelestarian daya dukung lingkungan hidup, termasuk endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba. Penetapan WPR harus memenuhi kriteria pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah provinsi.

ADVERTISEMENT

Adapun komoditas mineral yang boleh ditambang oleh WPR hanya berupa cadangan primer mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 meter atau cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai atau di antara tepi sungai.

Kemudian Pasal 73 ayat 2 menguraikan usulan WPR oleh gubernur untuk satu blok dengan luasan paling luas 100 hektare. Lalu, berdasarkan evaluasi pemenuhan persyaratan tersebut, Menteri akan menetapkan WPR sebagai bagian dari WP.

Setelah Menteri menetapkan WPR, Gubernur diwajibkan untuk segera menyusun dokumen pengelolaan WPR, baik untuk satu blok maupun lebih.

Dokumen ini wajib memuat sepuluh poin. Meliputi koordinat dan peta, kondisi batuan dan tanah, kondisi perairan, rencana penambangan, perencanaan pengolahan, perhitungan biaya produksi, pengelolaan keselamatan, pengelolaan lingkungan, pedoman pengenaan iuran pertambangan rakyat, serta rencana reklamasi dan pascatambang.

Pasal 74 ayat 2 juga mewajibkan pengajuan dokumen pengelolaan WPR untuk dilengkapi dengan persetujuan atau rekomendasi teknis untuk blok lokasi. Persetujuan tersebut dapat berupa persetujuan penggunaan kawasan hutan, rekomendasi teknis dari Kementerian Pekerjaan Umum terkait pengelolaan sumber daya air jika lokasi berada di daerah aliran sungai, dan/atau persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang darat atau perairan dari kementerian/lembaga atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

"Atas hasil evaluasi persyaratan dan dokumen pengelolaan WPR yang diajukan oleh gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Menteri menetapkan dokumen pengelolaan WPR," bunyi Pasal 74 ayat 3.

Selanjutnya, penerbitan IPR ini diatur batas luasan wilayahnya, di mana IPR untuk orang perseorangan dibatasi maksimal 5 hektare. Sedangkan untuk Koperasi dibatasi maksimal 10 hektare. Kedua pengelola tambang ini wajib melengkapi Nomor Induk Berusaha (NIB) dengan klasifikasi kegiatan usaha yang sesuai di bidang Usaha Pertambangan.

Dalam pelaksanaan IPR, gubernur wajib bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pemulihan dampak lingkungan termasuk kegiatan pascatambang.

"Pemegang IPR wajib membuka rekening bank qq gubernur untuk penempatan jaminan reklamasi dalam bentuk penyetoran sebesar 10 persen dari setiap penjualan mineral," demikian bunyi Pasal 76 ayat 2.

Adapun jaminan tersebut baru dapat dicairkan setelah seluruh kewajiban reklamasi telah dilaksanakan. Dari hasil pengelolaan tersebut, gubernur akan menunjuk badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau badan usaha swasta untuk melakukan pengolahan dan pemurnian Mineral logam yang dihasilkan dari penambangan IPR di wilayahnya.

Terkait kewajiban finansial, Pasal 77 ayat 1 menegaskan pemegang IPR wajib membayar iuran pertambangan rakyat. Khusus bagi komoditas non-logam, Mineral non-logam jenis tertentu, dan batuan, juga wajib membayar pajak daerah.

"Iuran pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a menjadi bagian dari struktur pendapatan daerah berupa pajak dan/atau retribusi daerah yang penggunaannya untuk pengelolaan tambang rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 77 ayat 2.

Artikel ini telah tayang di detikFinance. Baca selengkapnya di sini!

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Bahlil Cerita Masa Sulit Hidup di Jakarta: Tidur di Musala-Jalan Kaki"
[Gambas:Video 20detik]
(iws/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads