Sebuah pabrik yang memproduksi beton disegel oleh Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset dan Perizinan (TRAP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali. Pabrik itu berada di Jalan Bypass I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Kamis (23/10/2025). Lokasi ini merupakan wilayah hutan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai.
Dewan Bali menyebut pabrik tersebut diduga melanggar status lahan karena tanah di sana berstatus perdagangan dan jasa, bukan industri. Pemilik pabrik beton itu adalah salah satu perusahaan semen nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pabrik ini hitungannya sudah melanggar terhadap daerah, zona, ini kan bukan zona industri tapi terbangun (pabrik)," kata Sekretaris Pansus TRAP DPRD Bali I Dewa Nyoman Rai saat ditemui di lokasi.
Pabrik Hanya Punya NIB
Kemudian, dokumen yang terdata di Dinas Perizinan hanya dokumen Nomor Induk Berusaha (NIB) saja. Dokumen perizinan pabrik ini masih dalam proses verifikasi.
"Tapi selama NIB itu tidak memenuhi persyaratan apa yang menjadi tujuan pembangunan pabrik ini dibangun termasuk perjalanan OSS itu sudah terbantah di hukum," beber Rai.
Pantauan detikBali di lokasi, Pansus TRAP DPRD Bali langsung menyegel pabrik tersebut dengan memasang garis Satpol PP. Tidak ada aktivitas produksi di pabrik itu. Hanya beberapa truk semen saja yang terparkir.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali I Made Suparta mengatakan pihaknya akan mendalami persoalan ini. Sebab, dia mengatakan tanah tersebut juga merupakan tanah negara karena statusnya Hak Guna Bangunan (HGB).
"Ini HGB kalau HGB berarti pemberian hak kalau pemberian hak berarti tanah negara kan gitu, nanti kami perdalam," ujar Suparta.
Ia menjelaskan jika pihak yang ingin mendapatkan hak dari tanah negara harus dikuasai atau dikelola selama paling sedikit 20 tahun.
"Syaratnya ini untuk mendapatkan sertifikat tanah negara harus ada penguasaan fisik 20 tahun mekanismenya, kami cek nanti kami perdalam," jelas Suparta.
Manajemen Akan Koordinasi ke Pusat
Manajemen pabrik beton yang disegel Pansus TRAP DPRD Bali menyatakan akan berkoordinasi dengan perusahaan pusat untuk menindaklanjuti persoalan perizinan bangunan. Langkah itu dilakukan setelah pabrik disegel karena diduga melanggar status lahan.
"Setelah ini koordinasi dengan pusat dulu seperti apa perizinannya biar nanti kalau memang bisa dibuka biar dibuka kembali," kata Penanggung Jawab Operasional PT Pionerbeton, Yuli Suprianto, saat ditemui di pabrik yang berlokasi di Jalan Bypass I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Kamis.
Yuli mengaku belum mengetahui secara rinci proses perizinan pabrik tersebut. Sebab, ia baru ditugaskan menjadi penanggung jawab operasional sejak Juli 2025.
Penegasan BPN soal Kawasan Industri
Sebelumnya, pada bulan lalu, Pansus TRAP DPRD Provinsi Bali mengundang Badan Pertanahan Negara (BPN) Bali untuk membahas persoalan kawasan konservasi Tahura Denpasar yang kini banyak berdiri bangunan dan industri. Salah satunya pabrik yang diduga dimiliki oleh warga negara (WN) Rusia.
Kepala Kantor Wilayah BPN Bali, I Made Daging, menegaskan lahan pabrik itu merupakan kawasan industri. BPN, dia berujar, mengacu pada sertifikat resmi dan tata ruang yang berlaku.
"Kalau tata ruang terakhir yang berlaku hari ini, RDTR-nya menyatakan itu tadi kawasan peruntukan industri," ujarnya kepada wartawan seusai rapat Pansus, Selasa (23/9/2025).
Menurutnya, lahan pabrik yang sempat disidak oleh anggota dewan itu merupakan tanah perorangan milik warga negara Indonesia (WNI). Asal-usulnya, Daging berujar, merupakan tanah milik adat.
"itu sudah bersertifikat atas nama perorangan warga negara Indonesia, orang Bali malah. Dan itu asal-usul atau riwayatannya tanah milik adat, diproses dengan konversi," katanya
Sementara itu, Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, menegaskan permasalahan bukan soal sertifikat tanah, melainkan status kawasan.
"Bahwa itu area, kawasan memang kawasan konservasi. Bicara kawasan dulu, kawasan konservasi, kawasan hutan lindung yang di sana itu di kawasan itu tumbuhlah mangrove-mangrove," ujarnya.
Supartha menyebut perlu ada kajian mendalam berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, khususnya Pasal 35 dan Pasal 73 yang mengatur pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
"Kalau boleh harus lakukan kajian yang dalam. Tadi kan kepala dinas yang memahami betul berkaitan pesisir, harus ada dulu koordinasi ke situ. Apakah ini wilayah yang boleh disertifikatkan atau tidak?" jelasnya.
Simak Video "Video DPRD Bali Sidak Kawasan Tahura: Ada Pabrik Beton-Rumah Warga"
[Gambas:Video 20detik]
(hsa/hsa)











































