Tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bali 2024 tercatat sebesar 71,92 persen atau di bawah target yang ditetapkan sebesar 75 persen. Salah satu penyebab utamanya adalah banyaknya penduduk Bali berdomisili di luar daerah dan tidak bisa kembali untuk memberikan suara.
Kepala Bagian Perencanaan Data dan Informasi KPU Bali, I Wayan Gede Budiarta, menjelaskan terdapat perubahan antara status pemilih dari de facto ke de jure. Perubahan itu berarti tempat tinggal menjadi acuan utama.
"Penduduk Bali yang bekerja dan merantau di luar daerah tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena secara de facto mereka berada di luar Bali. Ini menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi," ujar Budiarta saat ditemui di acara FGD Evaluasi KPU, Senin (24/2/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain faktor geografis dan mobilitas penduduk, terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih. Seperti kurang menariknya calon yang bertarung dalam Pilkada 2024 serta keengganan warga untuk pulang hanya demi mencoblos.
Lalu tidak adanya pos pemilihan di luar daerah juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemilih yang ingin menggunakan hak suaranya. Saat ini, aturan yang berlaku hanya memungkinkan pemindahan pemilih antar kabupaten yang masih berada dalam satu provinsi. Dengan demikian, warga Bali yang tinggal di luar pulau harus kembali ke kampung halaman jika ingin mencoblos.
Berdasarkan data yang dirilis KPU Bali, Kabupaten Tabanan mencatat tingkat partisipasi pemilih tertinggi sebesar 82,75 persen, sementara Kota Denpasar menjadi daerah dengan partisipasi terendah sebesar 59,55 persen.
Budiarta menyebut fenomena rendahnya partisipasi pemilih akibat kendala geografis dan mobilitas bukan hanya terjadi di Bali, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Persoalan utama yang dihadapi KPU adalah mekanisme pemindahan suara dapat dilakukan secara lebih fleksibel bagi pemilih yang berada di luar daerah.
Namun hingga saat ini, aturan yang ada belum memungkinkan distribusi surat suara ke luar wilayah asal pemilih. Sehingga menyebabkan angka partisipasi yang lebih rendah dari target.
"Kalau mau mengubah mekanisme ini, maka harus ada revisi dari PKPU. Kami di provinsi hanya menjalankan perintah yang sudah ditetapkan," pungkas Budiarta.
(nor/nor)