Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali menilai reklamasi Pulau Serangan sebagai bentuk perampasan ruang terhadap masyarakat setempat. Direktur Eksekutif Walhi Bali Made Krisna Dinata menyebutkan penilaian tersebut berdasarkan berbagai studi dan kajian.
Dalam acara tanggapan Walhi Bali, KEKAL, dan Frontier terkait polemik investasi PT Bali Turtle Island Development (BTID) di Pulau Serangan, Krisna mengutip penelitian Putu Parwata (2015) yang menunjukkan bahwa ruang atau wilayah masyarakat Serangan semakin menyempit sejak pra-reklamasi hingga pasca-reklamasi.
Sebelum reklamasi pada 1990-an, luas Desa Serangan tercatat 111 hektare. Namun, setelah proses reklamasi berlangsung antara 1995 hingga 1998, luas desa menyusut menjadi 46,5 hektare.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain kehilangan hampir setengah wilayahnya, masyarakat juga mengalami keterbatasan akses terhadap garis pantai. Studi Lisa Woinarski (2002) mengungkap adanya dugaan perampasan lahan oleh investor, termasuk pembebasan tanah secara paksa, pembayaran ganti rugi yang tidak sesuai harga pasar, serta masalah kepemilikan sertifikat tanah.
"Misalnya, pembebasan tanah yang dilakukan secara paksa, pembayaran ganti rugi yang tidak lengkap, tidak sesuai dengan harga pasar, dan masalah dengan sertifikat hak milik tanah," ujar Krisna di Denpasar, Bali, Selasa (4/2/2025).
Ia juga menyebut bahwa lahan sakral di Pulau Serangan tidak diperhitungkan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) BTID, termasuk jalan penghubung yang berjarak 200 meter dari Pura Sakenan. Bahkan, 90 persen pembangunan BTID disebut berada dalam ruang sakral tersebut.
"Hal ini menunjukkan tidak hanya perampasan lahan dan tanah masyarakat, tetapi juga ruang suci seperti pura yang diabaikan hingga dikuasai. Ini mencerminkan invasi oleh satu perusahaan yang menggambarkan kerakusan investasi pariwisata," katanya.
Krisna menambahkan bahwa pariwisata kembali merampas ruang hidup masyarakat, baik di daratan maupun perairan. Sebelum reklamasi, masyarakat dapat mengakses garis pantai sepanjang 13,5 km, tetapi kini hanya tersisa 2,5 km.
Pada 2023, kawasan BTID Pulau Serangan ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2023 tentang KEK Kura-kura Bali. Aturan tersebut mencakup luasan BTID sebesar 498 hektare.
"Tak hanya itu, pembangunan proyek kanal wisata diduga menjadi bentuk privatisasi kawasan oleh BTID yang mengisolasi masyarakat Serangan," ujarnya.
Dalam studi Woinarski (2002), disebutkan bahwa kanal wisata yang dibangun pasca-reklamasi justru menambah masalah karena membuat masyarakat Serangan semakin terisolasi di pulaunya sendiri.
Krisna juga menyoroti pemasangan pelampung di perairan Serangan yang diduga sebagai bentuk privatisasi perairan oleh BTID. Berdasarkan pemeriksaan citra satelit, pelampung tersebut telah terpasang sejak 20 Juli 2018.
Menurutnya, masyarakat kehilangan akses ke perairan akibat pelampung yang memblokir sekitar 46,83 hektare. Walhi Bali mengecam tindakan tersebut karena BTID tidak memiliki dasar hukum atas pemasangan pelampung.
"Kendati pun klaimnya untuk pengamanan dari indikasi tindakan penyelundupan BBM liar, seperti apa yang sempat dikatakan oleh Tantowi Yahya. Menurut kami, suatu bentuk hal yang mengada-ada karena dia tidak punya dasar, dan apa yang dia lakukan dengan menutup akses perairan justru berdampak pada akses nelayan atau mengakses wilayah laut yang ada di Serangan," tegasnya.
Selain itu, Krisna juga menyoroti penggusuran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masyarakat Serangan karena berada di kawasan mangrove, sementara BTID justru mendapatkan izin untuk mengelola kawasan tersebut.
Dengan berbagai permasalahan ini, Krisna berharap pemerintah daerah dan pusat mengambil sikap yang berpihak pada rakyat, termasuk mencabut pelampung di perairan Serangan serta mengevaluasi investasi BTID.
(dpw/dpw)