Pemerintah memastikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tak jadi naik tahun depan. Berdasarkan pembahasan terakhir dengan DPR, pemerintah akan melihat alternatif lain, yakni penyesuaian harga jual rokok di level industri.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menilai keputusan tersebut membuat target penurunan jumlah perokok di Indonesia semakin sulit tercapai. Dia berpendapat kenaikan cukai rokok merupakan 'hukuman' bagi para perokok.
Menurut Nadia, Kemenkes menargetkan angka perokok di Indonesia turun hingga 5,4 persen pada 2030. "(Kalau sekarang) makin jauh, sekarang ini masih sekitar 9,4 persen," ungkap dia di RSUP Prof Ngoerah, Denpasar, Kamis (3/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemenkes, Nadia melanjutkan, juga menyoroti perokok pemula di Indonesia. Berdasarkan data, sebanyak 7,4 persen perokok merupakan usia remaja dan anak-anak.
Di sisi lain, Nadia mengatakan batalnya kenaikan CHT pada 2025 kemungkinan karena pemerintah melihat pertumbuhan dan situasi ekonomi saat ini. "Sebenarnya cukai rokok itu adalah pengendalian. Konsep itu bukan pajak seperti pendapatan tapi pengendalian," imbuh mantan Jubir Kemenkes itu.
Nadia menjelaskan persoalan pajak rokok bukan kewenangan Kemenkes, melainkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ia menyebut pajak rokok tersebut prinsipnya adalah pengendalian fiskal yang disinyalir akan membebani ekonomi masyarakat.
"Kembali lagi mesti intervensi, nggak bisa cuma kalau naiknya, kalau cukai nggak naik maka yang nonfiskal itu tidak berkontribusi," beber Nadia.
Secara nonfiskal, Nadia berujar, pengendalian jumlah perokok baru dapat dilakukan melalui penegakan kawasan tanpa rokok. Selain itu, bisa juga melalui penertiban penjualan rokok ketengan atau eceran.
Standar Kemasan Rokok
Nadia menjelaskan aturan baru mengenai kemasan rokok yang menuai banyak kritikan dari berbagai pihak. Menurutnya, nantinya ada standardisasi warna kemasan rokok.
"Nanti kami samakan warnanya. Kan standardisasinya meliputi informasi, peringatan, besarnya gambar, penempatan pita cukai, dan warnanya," ujar Nadia.
Nadia membantah tudingan yang menyebut Kemenkes mengatur merek atau logo pada kemasan rokok. "Kalau polos itu nggak ada semua. Beda kalau polos, nggak ada merek, nggak ada logo, nggak ada warna," imbuhnya.
Menurut Nadia, peraturan tersebut dibuat karena tingginya angka perokok pemula, bahkan anak usia 9 tahun sudah mulai merokok. Ia menegaskan peraturan Kemenkes itu sedang dalam proses penyusunan dan public hearing.
Rencananya, aturan tersebut akan diberlakukan tahun depan. Ia menyebut banyak negara yang telah memberlakukan aturan serupa, seperti Australia, Singapura, dan Malaysia.
"Kan kami ada partisipasi publik, masukan pasti ada, tetapi kan kepentingan pasti berbeda. Perbedaan itu akan kami lihat karena studi-studi dari universitas sudah jelas dan tepercaya," ujar Nadia.
(iws/gsp)