Spanduk bernada sindiran bertulis 'Dewan Perusak Regulasi #kawal MK' terpasang di simpang tiga Jalan PB Sudirman-Jalan Waturenggong, Denpasar, Bali. Terdapat pula spanduk lainnya bertulis 'Darurat Demokrasi, Reformasi Dihabisi'.
Pantauan detikBali, spanduk itu telah terpasang pada Kamis (22/8/2024) dini hari. Spanduk tersebut muncul sebagai respons atas revisi Undang-Undang Pilkada oleh badan legislasi DPR RI yang dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Belum diketahui pemasang spanduk bernada protes tersebut. Meski begitu, mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya kabarnya akan menggelar aksi demonstrasi untuk mengawal putusan MK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BEM Universitas Udayana (Unud) berencana turun ke jalan pada Jumat (23/8/2024). "Kami akan menggelar aksi besok. Mengkritisi permasalahan yang terjadi belakangan ini, mengawal putusan MK," kata Ketua BEM Unud I Wayan Tresna Suwardiana saat dihubungi detikBali, Kamis (22/8/2024).
Sebelum turun ke jalan, BEM Unud akan menggelar konsolidasi akbar dengan melibatkan BEM fakultas hingga organisasi eksternal kampus. Konsolidasi ini digelar di parkiran Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unud pada siang ini.
"Hari ini kami akan konsolidasi dulu, kami mau merumuskan poin-poin tututannya apa saja," pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua BEM Unud Ricardo Elim menjelaskan hasil konsolidasi hari ini akan dieksekusi melalui berbagai macam media saat aksi turun ke jalan. Menurutnya, esensi demokrasi terlihat dalam putusan MK yang membuka peluang banyaknya pilihan pasangan calon kepala daerah.
Richardo menilai adanya revisi UU Pilkada yang dibahas DPR dan pemerintah telah mengkhianati putusan MK. "Bentuk keculasan pemerintah dan ini praktik vulgar yang terang-terangan. Maka dari itu, (konsolidasi) ini adalah bentuk perlawanan masyarakat yang harusnya besar-besaran juga," ujar Richardo.
Sebelumnya, sejumlah kalangan mengkritik rancangan revisi Undang-Undang Pilkada oleh baleg DPR RI. Salah satunya pakar hukum tata negara Universitas Udayana (Unud) Yohanes Usfunan. Ia menilai hasil revisi itu cacat hukum dan masih dapat digugat karena berbeda dengan putusan MK.
Yohanes menjelaskan putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak boleh diubah sedikit pun. Menurutnya, UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK harus batal secara hukum. Ia menilai perbedaan itu juga berpotensi menimbulkan konflik norma hukum dengan UUD 45.
"Kalau secara hierarkis bertentangan, harus batal demi hukum. Itu bertentangan dengan teori pembentukan perundang-undangan. Jadi, (putusan MK) itu satu huruf pun jangan dikurangi," kata Yohanes, Rabu (22/8/2024).
Menurut Yohanes, DPR seharusnya tidak melakukan pengubahan apapun terhadap putusan MK. Ia menilai DPR masih punya banyak waktu untuk menggodok putusan MK agar revisi UU Pilkada yang dihasilkan dapat mencerminkan suara rakyat. Misalnya, dengan tetap mengakomodasi semua partai politik yang sah, meski tidak dapat kursi di parlemen.
"Ada hal seperti filosofi dan pendekatan sosiologisnya dari pasal yang ditetapkan MK. Kemudian, pendekatan yuridisnya, pastinya menjamin kepastian hukum. Lebih-lebih, menjadi harmonisasi dengan putusan Mahkamah Konstitusi," imbuhnya.
(iws/iws)