Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya menegaskan pengembangan koridor transportasi massal berbasis mass rapid transit (MRT) di Bali tidak menggunakan anggaran APBN maupun APBD. Ia pun mengungkap alasan investor tertarik dalam proyek bernama lengkap Bali Urban Rail and Associated Development atau yang kemudian disebut Bali Subway itu.
Menurut Mahendra, investor tertarik terlibat dalam pembangunan MRT di Bali karena pasar utamanya adalah wisatawan. Ia menilai sasaran MRT Bali berbeda dengan daerah lainnya yang pasar utamanya penduduk lokal.
"Nantinya apabila Subway Bali tersebut telah beroperasi, tentu saja pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota juga mendapatkan persentase dari hasil operasionalnya," kata Mahendra dalam sambutannya di Sanur, Denpasar, Rabu (24/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembangunan Subway Bali akan dilakukan melalui empat fase. Adapun, rute MRT yang akan dibangun pada fase pertama melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai-Central Parkir Kuta-Seminyak-Berawa-Cemagi.
Selanjutnya, fase kedua meliputi Bandara I Gusti Ngurah Rai-Jimbaran-Universitas Udayana-Nusa Dua. Fase ketiga Central Parkir Kuta-Sesetan-Renon-Sanur. Kemudian fase keempat meliputi Renon-Sukawati-Ubud.
Peletakan batu pertama atau groundbreaking proyek MRT di Bali akan dilaksanakan pada September 2024. Proyek kereta bawah tanah itu diklaim menjadi solusi kemacetan lalu lintas di Pulau Dewata.
Mahendra sempat ragu megaproyek itu dapat terwujud. Ia menjelaskan kapasitas fiskal Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali yang terbatas tak memungkinkan untuk membangun proyek transportasi berbasis kereta itu.
Menurut Mahendra, proyek tersebut juga sulit jika didanai melalui pinjaman pemerintah. Sebab, skema seperti itu mengharuskan pemerintah daerah untuk turut berkontribusi mengembalikan pinjaman tersebut.
![]() |
Dia akhirnya optimistis lantaran pendanaan proyek Bali Subway murni dari swasta dan tidak menggunakan APBN maupun APBD. "Kami diyakinkan oleh para champion di sekeliling kami untuk Bali bisa dilaksanakan karena Bali memiliki magnet yang luar biasa, yaitu wisatawan yang berkunjung ke Bali," ujarnya.
Mahendra berharap harga tiket kereta bawah tanah itu kelak tidak dijual mahal untuk warga Bali. Ia menyarankan agar tiket MRT untuk warga lokal disubsidi dari keuntungan perusahaan yang mengelola.
"Dari trafick ada pendapatan (untuk perusahaan) setidaknya dari tiket, penggunaan naming rights, penggunaan ruang bawah tanah (mall, hotel, restoran, dan tempat hiburan lainnya), penyewaan atas penggunaan utilitas (jaringan telekomunikasi, listrik, air, gas), perhitungan dari kredit karbon," imbuhnya.
Proyek pengembangan koridor transportasi massal berbasis kereta diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 9 Tahun 2024. Pergub tersebut menugaskan PT Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) Provinsi Bali untuk melakukan kerja sama dalam pengembangan, pembiayaan, dan penyelenggaraan sistem angkutan umum berbasis kereta.
Adapun, PT Sarana Bali Dwipa Jaya (SDBJ) merupakan perusahaan afiliasi dari PT Jamkrida Bali yang bertanggung jawab untuk mendapatkan pembiayaan dan pendanaan dari investor terkait proyek tersebut. PT SDBJ kemudian menunjuk PT Bumi Indah Prima (BIP) sebagai investor utama proyek Bali Subway.
Mahendra berharap PT SBDJ dan PT BIP dapat membuka ruang kerja sama dengan investor lainnya. Ia juga meminta sumber daya yang mengoperasionalkan Subway Bali tetap melibatkan masyarakat lokal.
"Sekaligus untuk dilakukan transfer knowledge teknologi dalam pembangunan dan pengoperasionalannya," kata Mahendra.
Direktur Utama PT SBDJ Ari Askhara mengatakan total nilai investasi megaproyek tersebut mencapai US$ 20 miliar. Adapun, nilai investasi tahap pertama dan kedua mencapai US$ 10,8 miliar atau sekitar Rp 175 triliun.
"Total nilai investasi dari dua fase pertama adalah US$ 10,8 miliar. Sedangkan untuk total empat fase yang direncanakan adalah sebesar US$ 20 miliar," kata Ari.
(iws/gsp)