Pantauan detikBali pada awal Januari lalu, lalat beterbangan di sejumlah tempat di kawasan Kintamani. Misalkan, di Anjungan Penelokan. Lalat berkerumun di sejumlah tempat di anjungan tersebut, termasuk pada gerobak pedagang bakso. Bahkan, serangga itu beterbangan di antara wisatawan dan pedagang.
Serbuan lalat di Kintamani juga terekam dalam video yang kemudian diunggah oleh sejumlah akun di medsos. Salah satu video menunjukkan kerumunan lalat menghinggapi sekujur sepeda motor milik warga.
Disorot Sandiaga Uno
![]() |
Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno turut menyoroti serbuan lalat di wilayah Kintamani. Ia meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali untuk menindaklanjuti serbuan lalat ke kawasan pariwisata tersebut setelah viral di medsos.
"Saya minta Pak Kadis (Pariwisata Provinsi Bali) ini ada temuan lalat di Kintamani, segera ditindaklanjuti," kata Sandiaga dalam acara The Weekly Brief with Sandi Uno (WBSU) yang berlangsung secara virtual, Rabu (10/1/2024).
Sandiaga kemudian menyinggung sertifikasi cleanliness, health, safety, and environmental sustainabilty (CHSE) yang diterapkan sejak pandemi COVID-19. Sertifikasi CHSE terhadap usaha, destinasi, dan produk pariwisata lainnya itu bertujuan untuk memberikan jaminan kepada wisatawan terhadap pelaksanaan kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan.
Menurut Sandiaga, aspek-aspek yang diatur dalam sertifikasi CHSE itu perlu terus diperhatikan. Ia menyebut sektor makanan lokal Indonesia menjadi salah satu yang dapat diunggulkan. Oleh karena itu, serbuan lalat di kawasan pariwisata harus dicarikan solusi.
"(Street food dan makanan lokal Indonesia) masih tertinggal dari Thailand dan Vietnam. Salah satu aspeknya adalah higiene, dan ini yang kami sasar dari CHSE," jelasnya.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengaku sudah mengatensi serbuan lalat di kawasan Kintamani tersebut. Namun, dia tidak menjelaskan secara rinci terkait upaya mengatasi serbuan lalat itu. "Sudah menjadi atensi kami," kata Pemayun singkat.
Berasal dari Kotoran Ayam
Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) I Putu Sudiarta mengatakan serbuan lalat terjadi karena adanya habitat. Menurutnya, kotoran ayam yang masih mentah menjadi habitat lalat rumah untuk bertelur.
Sudiarta mengungkapkan banyaknya kotoran ayam di kawasan tersebut karena memang sangat dibutuhkan oleh para petani. Mereka menggunakan kotoran ayam untuk keperluan budidaya kubis, bawang, dan berbagai jenis tanaman lainnya.
"Nah terkait dengan fenomena yang ada di Bangli, itu kalau dari segi ilmiah tentu berarti ada habitatnya. Di mana habitatnya? Itu ada di kotoran ayam," kata Sudiarta, Senin (8/1/2024).
Para petani di Kintamani, Sudiarta melanjutkan, mendatangkan pupuk kotoran ayam dalam jumlah besar hingga mencapai berton-ton. Kotoran ayam yang masih mentah tersebut berisi jutaan telur yang berubah menjadi larva, pupa, dan tumbuh menjadi lalat dewasa.
Sudiarta menjelaskan merebaknya populasi lalat di Kintamani juga didukung oleh lingkungan tersebut. Misalkan, dari segi suhu di Kintamani yang dingin. Menurutnya, penggunaan kotoran ayam sebagai pupuk juga dilakukan di daerah perkotaan. Hanya saja, lalat rumah di daerah perkotaan tak merebak sebanyak di kawasan Kintamani.
"Adanya habitat yang pas, kemudian lingkungan yang pas, sumber hidup yang pas sehingga itulah yang menimbulkan (populasi lalat meningkat). Di Bedugul pun banyak sekarang, di Pancasari, tapi tidak sebanyak di Kintamani," tutur Sudiarta.
Solusi Atasi Serbuan Lalat di Kintamani
Sudiarta memberikan solusi untuk mengatasi serbuan lalat di kawasan Kintamani dan sekitarnya. Dosen Fakultas Pertanian Unud itu meminta agar mewajibkan proses komposting terhadap pupuk kotoran ayam yang dipakai tanaman pertanian. Tujuannya agar kotoran ayam tidak berbau sehingga meminimalisasi datangnya lalat.
"Kalau serangga itu instingnya adalah warna dan bau. Nah, bau itu kan menarik dia. Nah itu dia memang akan mencari bau itu, sumbernya di mana. Jadi, komposting itu penting agar sedikit lalatnya," kata Sudiarta.
Selain itu, Sudiarta meminta agar tidak ada lagi pengiriman kotoran ayam dalam kondisi mentah ke daerah Kintamani. Menurutnya, proses komposting terhadap kotoran ayam dapat dilakukan sebelum dijual dan dikirim ke petani di Kintamani.
"Jadi, komposting dulu di tempatnya yang beli biar nggak bau dan sudah jadi tahi yang bagus itu baru bawa ke Kintamani," tegas pria bergelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Shinshu University, Jepang, itu.
Dosen Program Studi Agroteknologi itu menyebutkan upaya mengatasi serbuan lalat di Kintamani juga bisa dilakukan dengan membunuh lalatnya langsung, yakni menggunakan lem. Hanya saja, kata dia, membunuh lalat tidak efektif jika habitatnya yakni kotoran ayam mentah masih banyak di kawasan Kintamani.
Cara berikutnya adalah dengan membunuh larva yang ada di kotoran-kotoran ayam. Namun, ia menilai mengendalikan larva pada kotoran ayam tergolong sulit. Sebab, penggunaan kotoran ayam mentah ini tersebar di berbagai lokasi di Kintamani. Ada begitu banyak petani yang menggunakan kotoran ayam mentah sebagai pupuk di ladangnya.
"Kalau (solusi) ekstrem kan jangan bawa tahi ke sana. Tapi kan itu kepentingan petani juga, jadi nanti petaninya yang repot. Karena itu, untuk jangka pendek memang yang ada di lapangan itu harus dikendalikan," ungkapnya.
Sudiarta menegaskan upaya yang paling mungkin dilakukan untuk mengatasi serangan lalat di Kintamani adalah dengan menerapkan kewajiban komposting sebelum kotoran ayam dikirim ke kawasan tersebut. Ia mendorong pemerintah membuat regulasi mengenai hal itu.
"Bikin kebijakan bahwa mendatangkan pupuk harus di-komposting dulu. Nah mungkin itu harus dilakukan ke depan biar nggak berulang lagi," pungkasnya.
(iws/gsp)