Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM Riris Andono Ahmad mengungkapkan pro kontra nyamuk wolbachia di Bali terjadi karena kurangnya sosialisasi. Menurutnya, perlu pendekatan kultural agar masyarakat Bali menerima program yang diklaim mampu menekan wabah deman berdarah dengue (DBD) tersebut.
"Kami melihat elemen masyarakat yang paling banyak berperan dan bentuk kultur yang paling mereka terima. Mapping itu menjadi penting agar kita mampu memberikan pesan kepada mereka (masyarakat)," ungkap Riris.
Riris menjelaskan pendekatan yang tepat akan menentukan tingkat penerimaan dari masyarakat. Ia mencontohkan penyebaran nyamuk wolbachia di Yogyakarta yang membutuhkan waktu sosialisasi mencapai empat bulan hingga diterima masyarakat.
Guru besar Fakultas Kedokteran Unud Putu Pande Januraga setali tiga uang. Ia menuturkan sosialisasi penyebaran nyamuk wolbachia perlu dilakukan lebih masif agar masyarakat mendapatkan informasi yang utuh.
Januraga menilai penyebaran nyamuk wolbachia sebagai upaya menekan kasus DBD juga dapat dilakukan dengan menggandeng desa adat di Bali. Menurutnya, sosialisasi terkait nyamuk wolbachia akan lebih efektif bila melibatkan ribuan desa adat yang ada di Bali.
"Saya kira kita di Bali dengan desa adat 1.400-an sekian dan dengan menyentuh konsep adat menggunakan para sulinggih, tetua agama, tokoh adat. Sepertinya perlu cara yang spesifik yang berbeda untuk Bali dan dengan bahasa yang mudah diterima. Karena kalau pakai bahasa ilmiah akan sulit di masyarakat," tutur Januraga.
Akademisi Unud lainnya, Ni Nyoman Sri Budayanti, juga melontarkan pendapat senada. Ia menilai pro kontra wolbachia di Bali hanya masalah komunikasi lintas sektor. "Kalau dari kajian ilmiah, bakteri wolbachia itu aman. Hanya masalah kerja sama lintas sektor dan komunikasi lintas sektor yang membuat tidak ketemu titiknya," sebutnya.
Penyebaran Nyamuk Wolbachia di Bali Ditunda
Seperti diketahui, penyebaran telur nyamuk yang diklaim dapat mengantisipasi penyakit DBD itu sedianya dilakukan di Bali pada 12-13 November 2023. Lantaran menuai pro kontra, penyebaran jutaan telur nyamuk wolbachia di Denpasar dan Buleleng pun akhirnya ditunda.
Chief of Partnership, Strategic Program, and Operation Save the Children Indonesia Erwin Simangunsong menuturkan telur nyamuk wolbachia yang disiapkan untuk disebar di Denpasar dan Buleleng dihancurkan. Hal itu menyusul ditundanya penyebaran nyamuk yang disebut-sebut dapat mengatasi penyakit DBD tersebut.
"Dengan penundaan yang terjadi, maka telur akan dihancurkan karena memiliki masa simpan yang singkat," tutur Erwin, Rabu (15/11/2023).
Erwin menjelaskan semula telur nyamuk wolbachia akan dibagikan pada 22 ribu rumah tangga di Denpasar dan Buleleng. Penyebaran telur itu awalnya bakal dilakukan berkala selama 12-20 minggu.
Nantinya, Erwin melanjutkan, dari sejumlah telur yang diterima oleh satu rumah, hanya menjadi empat sampai lima nyamuk. Separuh nyamuk itu, bakal menjadi nyamuk jantan yang tidak menggigit manusia. "Bahkan, sebagian besar orang tidak akan pernah memperhatikan adanya peningkatan nyamuk yang dilepaskan," tutur Erwin.
Erwin menyadari masih ada kekhawatiran sejumlah pihak terkait penyebaran telur nyamuk wolbachia tersebut. Padahal, ia menyebut wolbachia merupakan bakteri alami yang ada pada populasi serangga sejak dulu dan tidak ada bukti bahwa penyebaran wolbachia membahayakan manusia, hewan, dan lingkungan.
Erwin mengeklaim penyebaran nyamuk wolbachia di Yogyakarta ampuh menurunkan DBD hingga 77 persen. Pasien rawat inap akibat DBD juga turun 86 persen. "Kami justru yakin penerapan wolbachia di Bali ini akan lebih menguntungkan pariwisata karena dapat meningkatkan keselamatan turis dan DBD di Bali juga bisa turun," kata Erwin.
(iws/hsa)