Informasi berikut ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapapun melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
Belum lama ini, Rabu (9/5/2023), seorang pemuda di Kecamatan Marga, Tabanan, meninggal dengan cara bunuh diri yang aneh karena mulut, badan, dan anggota badannya dililit plester.
Polisi menduga kuat pemuda yang berstatus mahasiswa semester akhir pada salah satu perguruan tinggi itu sedang depresi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dugaan itu bukannya tanpa dasar. Di lokasi pemuda itu bunuh diri, Polisi menemukan buku berisi catatan pribadi pemuda itu.
Dalam beberapa pesan yang ditulis pakai tangan itu, pemuda tersebut diduga kuat sengaja bunuh diri dan kondisinya dalam keadaan depresi.
Jauh sebelum itu, beberapa kasus yang sama juga terjadi di wilayah Kecamatan Marga.
Berdasarkan catatan detikBali, dari April 2022 sampai pertengahan Mei 2023, total ada lima kejadian serupa dengan latar belakang korban dan usia yang berbeda-beda.
Deretan angka itu menyiratkan fenomena bunuh diri masih sering terjadi. Kapan saja dan oleh siapa saja.
Itu baru di satu kecamatan pada satu kabupaten saja. Belum lagi kecamatan dan kabupaten lainnya di Bali.
Secara global, data WHO dalam buku kecil Suicide worldwide in 2019 yang dipublikasikan pada 2021, jumlah bunuh diri di Indonesia sebanyak 6.544 kasus.
Dari jumlah itu, sebanyak 5.096 kasus dilakukan laki-laki dan 1.448 kasus dilakukan perempuan.
Data ini juga masih perlu diuji lagi akurasinya karena bisa jadi jumlah sesungguhnya di atas angka yang tertera. Lantaran kematian yang disebabkan bunuh diri masih dianggap tabu atau aib.
Hal yang sama disampaikan dosen Psikologi dari Universitas Bali Internasional Ni Luh Kade Nadia Rastafary menyebut angka pasti bunuh diri di Indonesia belum bisa disimpulkan.
"Kecenderungan trennya meningkat atau menurun, belum bisa disimpulkan," ujar Nadia saat dijumpai pada Sabtu (13/5/2023).
Meski demikian, lanjut Nadia, kesadaran pentingnya kesehatan mental di Indonesia sejatinya sudah mulai tumbuh.
Termasuk upaya pencegahan bunuh diri. Baik dari sektor keluarga, sosialisasi ke kelompok atau lingkungan tempat tinggal, bahkan di dunia akademi.
Sayangnya, kesadaran kesehatan mental tersebut tumbuh tidak merata. Sehingga di beberapa tempat, khususnya pedesaan atau daerah yang belum terjangkau informasi, masalah kesehatan mental hingga bunuh diri masih terjadi.
"Kemudian dari sisi pemerintah, ada kesadaran bahwa rasio masyarakat dengan tenaga kesehatan mental masih ada kesenjangan. Psikiater dan psikolog masih minim dibandingkan jumlah masyarakat," jelasnya.
Menurut Nadia, kasus bunuh diri merupakan salah satu masalah struktural bila dilihat dari gambaran yang lebih luas. Sama halnya dengan dunia pendidikan dan ekonomi keluarga.
"Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau pemicu terjadinya kasus ini," ungkapnya.
Pencetus atau pemicu itu, antara lain faktor lingkungan, sosial, trauma masa kecil yang tidak terselesaikan dan masih terbawa, kesehatan fisik yang menurun hingga mengakibatkan munculnya rasa tidak berdaya.
"Di situlah interaksi dari beberapa faktor tersebut membawa seseorang pada kecenderungan menyakiti diri sendiri. Bahkan bunuh diri," jelasnya.
Meski tidak bisa dipastikan angka pastinya, kecenderungan menyakiti diri atau bunuh diri patut untuk diwaspadai. Kunci utamanya ada pada dukungan keluarga maupun lingkungan sosial.
"Keluarga harus ada untuk memberikan dukungan, mendengarkan keluhan, merawat mereka yang sedang terguncang mentalnya. Karena tidak semua orang punya keluarga yang berfungsi baik," jelasnya.
(efr/efr)