Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Denpasar mendorong masyarakat untuk mengolah daging babi dengan benar. Hal ini menyusul munculnya kasus meningitis di Bali.
"Kalau mau makan babi sah-sah saja, asalkan dipastikan dagingnya diolah dengan baik. Dimasak dengan air mendidih sampai suhu diatas 70 derajat celcius atau sampai kuah kaldunya jernih," kata Ketua IDI Cabang Denpasar Ketut Widiyasa, Kamis (27/4/2023).
Ia menuturkan Meningitis Streptococcus Suis (MSS) merupakan penyakit radang selaput otak yang disebabkan oleh beberapa bakteri, salah satunya Streptococcus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bakteri tersebut bisa berada pada hewan lain, seperti daging anjing, kucing, dan burung. Hanya saja, kata Widiyasa, masyarakat Bali terbilang jarang mengkonsumsi daging-daging tersebut daripada daging babi.
Sehingga, sambung Widiyasa, masyarakat di Bali berisiko tinggi terkena penularan bakteri Streptococcus.
"Bali, secara geografis, budayanya masih mengkonsumsi daging babi secara masif. Tapi, kami tidak bisa menyebutkan bahwa semua babi ada bakterinya karena bakteri ini tidak selalu ada di babi," terangnya, ketika dihubungi detikBali.
Selain itu, kata Widiyasa, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi seseorang terkena meningitis, di antaranya bakteri, tubuh, dan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan perhatian seluruh pihak, baik masyarakat, Dinas Kesehatan, dan badan institusi kesehatan lainnya.
Adapun gejala awal yang dialami pasien, di antaranya demam, mual, sakit kepala, hingga muntah.
"Biasanya setelah dua hingga lima hari setelah gejala itu, akan muncul gejala leher kaku, leher rasanya seperti papan, bahkan ada pasien yang mengalami gangguan kesadaran," imbuhnya.
Pada fase ini, pasien harus waspada apakah ada riwayat makan daging babi yang diolah dengan tidak baik. Gejala-gejala tersebut, tegasnya, tak boleh disepelekan.
"Meskipun angka kematian sangat sedikit, yakni 3-26 persen, tapi bagi saya itu angka yang besar kalau dibiarkan, karena gejalanya cukup berat sampai meningitis muncul," imbuhnya.
(efr/iws)