Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali I Wayan Sunada menyebut populasi babi di Pulau Dewata mencapai 350 ribu ekor. Beragam upaya dilakukan untuk mencegah penyebaran African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika.
"Kami perketat lagi antisipasi dengan menggunakan biosekuriti yang disemprotkan di kandang-kandang dan menjaga ketat pintu masuk untuk ternak babi hingga sapi," kata Sunada di Denpasar, Senin (20/2/2023).
Sunada memperketat masuknya hewan ternak melalui pintu masuk Bali seperti Pelabuhan Gilimanuk, Pelabuhan Celukan Bawang,dan Pelabuhan Padangbai. Petugas menyemprotkan biosekuriti secara berkala pada pelabuhan-pelabuhan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sunada mengatakan kasus ASF yang menjangkiti ternak babi di Bali ditemukan pada 2019 hingga awal 2020. Pada rentang waktu tersebut, sekitar 75 ekor babi dinyatakan positif ASF.
Saat ini, Sunada mengklaim belum ada laporan kasus baru ASF di Bali. "Kasus itu tidak sampai setahunan sudah bisa kami tuntaskan. Memang di Bali itu penanganannya cepat kalau ada kasus-kasus semacam itu. Sama seperti penuntasan kasus PMK (penyakit mulut dan kuku) yang mana Bali paling pertama bisa nol kasus," imbuhnya.
Kendati begitu, Sunada tak ingin lengah dan kecolongan. Terlebih, belakangan banyak ternak babi di luar Bali yang mati mendadak dan dinyatakan terjangkit ASF.
"Dengan adanya ASF di Provinsi NTT, itu sudah kami waspadai karena kami tidak mau ASF terjangkit lagi di Bali," sambungnya.
Baca juga: 253 Babi di NTT Mati karena ASF! |
Sunada menjelaskan beberapa ciri-ciri babi yang terjangkit virus ASF, di antaranya nafsu makan babi berkurang, lemas, dan demam. Ternak babi yang mengalami gejala tersebut kerap berujung pada kematian.
"Mudah-mudahan Bali bisa aman dari kasus ASF dan PMK. Untuk kasus PMK memang sudah tidak ada lagi tapi, tetap kami waspadai dengan vaksin pada ternak," pungkasnya.
(iws/hsa)