Geliat Produksi Arak di Bongkasa

Hari Arak Bali

Geliat Produksi Arak di Bongkasa

Agus Eka Purna Negara - detikBali
Minggu, 29 Jan 2023 16:08 WIB
Ilustrasi arak Bali
Ilustrasi arak bali (Foto: Getty Images/iStockphoto/Neustockimages)
Badung -

Perajin arak di Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, mencoba bertahan di tengah berbagai keterbatasan. Meski tak banyak warga Bongkasa yang bergelut sebagai perajin arak, produk minuman beralkohol mereka tak kalah populer.

Agung Oka adalah salah seorang pembuat arak di Bongkasa. Pria berusia 45 tahun itu terhimpun dalam satu tempat produksi milik Wayan Setiawan yang juga warga desa setempat. Perlu waktu hingga 10 jam untuk menghasilkan arak berkualitas.

"Karena masih cara tradisional, perlu waktu 8-10 jam sekali proses biar jadi arak berkualitas. Dapat panas saja perlu menunggu 3-4 jam, belum termasuk dapat uap tetesan pertama,"tutur Oka saat ditemui detikBali di Desa Bongkasa, Jumat (27/1/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arak kebanyakan diproduksi dari bahan tuak atau fermentasi air nira kelapa. Ada juga yang memakai nira dari pohon lontar hingga aren. Menurut Oka arak dari bahan tuak lontar lebih enak dan tidak bikin seret di tenggorokan.

Agung Oka saat menunjukkan proses pengolahan tuak lontar jadi arak di Desa Bongkasa, Badung, belum lama ini.Agung Oka saat menunjukkan proses pengolahan tuak lontar jadi arak di Desa Bongkasa, Badung, belum lama ini. Foto: Agus Eka Purna Negara/detikBali

"Cukup satu atau dua kali teguk sloki, sudah bikin badan seger. Orang yang kerja di sawah dulu pakai itu sebelum kerja. Apalagi minum arak, setelah itu tidur, besoknya bangun tidur sudah seger lagi. Tidak ada sakit kepala," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Pembuat arak di Bongkasa belum mandiri untuk urusan bahan baku karena memang tak banyak pohonnya. Mereka mendatangkan tuak dari Karangasem. Dalam sehari diperlukan 300 liter tuak dengan harga Rp 8.000 per liter.

Ratusan liter tuak tersebut bisa menghasilkan arak siap konsumsi 70-75 liter. Proses penyulingannya juga sederhana. Ratusan tuak itu dibagi ke beberapa tong untuk disuling. Masing-masing tong dapat menampung antara 40-60 liter tuak.

Alat yang digunakan juga murni tradisional. Tong atau penampung tuak terbuat dari pangkal batang pohon kelapa besar yang bagian dalamnya sudah dilubangi. Sedangkan bagian bawah sudah dimodifikasi dengan alas aluminium untuk memudahkan proses perebusan.

Satu tong ditempatkan di atas tungku bata merah. Bagian bawahnya dipanaskan memakai kayu bakar pohon kopi, bisa juga cengkeh. Ujung tong juga ditutup rapat dengan serabut kelapa yang terhubung bambu sebagai pipa. Fungsinya sebagai penyalur uap.

Menurut Oka, proses awal ini wajib memakai api besar untuk mempercepat penguapan. Setelah panas, pemanasan selanjutnya cukup memakai bara saja. Karena temperatur tinggi, tetesan tuak yang sudah menjadi arak akan keluar dari pipa bambu untuk ditampung dalam kaling (sejenis kendi keramik).

Uap bening yang pertama menetes memiliki kadar alkohol tinggi, bisa mencapai 60 persen. "Kami kan punya alat ukur kadar alkohol, bisa atur itu. Kalau wadah sudah terisi, sambil dicek berapa kadarnya. Kalau sudah cukup misalnya 20 persen, ya angkat," jelas Oka.

"Nanti uap pertama ditampung ulang pakai wadah kosong. Terus tampung tetesan uapnya sampai dapat kadar yang diinginkan. Setelah itu angkat, jangan dicampur terus dengan uap yang baru netes. Nanti akan turun kadarnya," imbuhnya.

Alat-alat berbahan alami ini masih dipakai untuk proses penyulingan. Tujuannya agar arak yang dihasilkan mengandung aroma yang kuat, tidak terlalu pahit di lidah, dan tidak seret di tenggorokan.

"Ya pakai alat tradisional sama tungku modern sebenarnya tidak ada beda signifikan. Cuma di aroma saja," sebut Oka.

Selengkapnya baca di halaman berikutnya...

Terkendala Pemasaran

Ketua Koperasi Arak Bali Dwipa (ABD) Wayan Setiawan menyebutkan tempat produksi arak miliknya di Desa Bongkasa sudah berjalan sekian tahun. Namun, ia mengaku terkendala dalam pemasaran dan distrubusi.

"Ini yang membuat kami tidak bisa produksi alias vakum. Di sisi lain, kami taati Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang tata kelola minuman fermentasi dan atau destilasi khas Bali," ungkap Setiawan, Jumat (27/1/2023).

Pria asal Bongkasa ini mengungkapkan, kendala penjualan terjadi di tingkat distributor. Ia mengaku arak hasil produksinya belum terjual maksimal. Sementara ia berproduksi setiap hari.

Menurut Setiawan petani arak di tempatnya sudah tergabung dalam wadah koperasi. Produk arak yang dihasilkan ditampung melalui koperasi, lalu didistribusikan melalui industri alkohol berizin dan distributor.

Hanya saja, para produsen arak merasa tak mendapat peran langsung dalam pemasaran. Di sisi lain, harga jual arak justru semakin membengkak.

"Kalau kami belum punya tim marketing yang kuat, dengan harga yang sudah membengkak, ke mana saya harus jual? Sedangkan arak eceran di luar sana, yang dijual dengan harga lebih murah masih beredar di pasaran secara ilegal. Yang seperti itu dulu dibereskan," imbuhnya.

Setiawan berangan-angan perayaan Hari Arak Bali setiap 29 Januari ditandai dengan pemecahan kendi dan gunting pita dalam rangka ekspor perdana arak Bali. Ia meminta pemerintah agar benar-benar memihak pelaku industri kecil dan pemasaran arak Bali secara mandiri dimudahkan.

"Walaupun bercukai dan ada regulasi yang mengatur, saya tidak masalah selagi saya bisa jual sendiri secara legal. Dimudahkan izinnya. Bayangkan ini berjalan di desa wisata akan jadi paket wisata terintegrasi," pungkas Setiawan.

Halaman 2 dari 2
(iws/hsa)

Hide Ads