Krama atau warga Desa Adat Asak, Karangasem, Bali, kembali menggelar tradisi nyepeg sampi atau menebas sapi, Rabu (25/1/2023). Tradisi ini dilaksanakan setahun sekali, tepatnya pada sasih kawulu atau bulan kedelapan menurut sistem penanggalan Bali.
Seekor sapi kurban sebelumnya diupacarai terlebih dahulu di Pura Patokan. Setelah itu, sapi tersebut selanjutnya dibawa keliling desa diiringi gamelan baleganjur.
"Setelah itu akan dibawa keliling desa sebanyak satu putaran," kata Bendesa Adat Asak I Wayan Segara, Rabu (25/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika sapi kurban itu tiba di Pura Patokan, krama menyiapkan ritual pemendak atau upacara penyambutan. Tak lama kemudian, sapi tersebut dilepas. Para pemuda juga telah siap membawa senjata seperti pisau hingga golok.
Menurut Segara senjata yang digunakan juga tidak sembarangan. Senjata khusus itu hanya dikeluarkan saat tradisi nyepeg sampi digelar. Selain itu, senjata tersebut juga sudah diupacarai di masing-masing rumah warga.
"Para pemuda yang ikut menebas sapi tidak boleh memakai baju dan udeng, saput serta selendang yang digunakan juga dibikin khusus karena tidak diperjualbelikan," imbuh Segara.
Segara menambahkan para pemuda tidak boleh menebas bagian kepala dan ekor. Jika aturan tersebut dilanggar, maka para pemuda akan diberikan sanksi berupa denda hingga Rp 300 ribu.
Ia menjelaskan, sapi yang telah ditebas itu selanjutnya digunakan sebagai caru atau persembahan suci menurut keyakinan warga setempat. "Sedangkan dagingnya akan dibagikan ke seluruh krama Desa Adat Asak," imbuhnya.
Segara mengatakan tradisi bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam secara niskala. Melalui tradisi nyepeg sampi, krama Desa Adat Asak memohon keselamatan dan kesuburan tanah yang sehari-hari digunakan untuk bertani.
(iws/hsa)