Madewa Ayu, Warga Seraya Karangasem Kerauhan-Tusukkan Keris ke Dada

Madewa Ayu, Warga Seraya Karangasem Kerauhan-Tusukkan Keris ke Dada

I Wayan Selamat Juniasa - detikBali
Minggu, 23 Okt 2022 16:38 WIB
Sejumlah krama di Desa Adat Seraya, Karangasem, Bali, mengikuti madewa ayu lalu narat atau menusukkan keris ke tubuhnya.
Sejumlah krama di Desa Adat Seraya, Karangasem, Bali, mengikuti madewa ayu lalu narat atau menusukkan keris ke tubuhnya. (Istimewa)
Karangasem -

Desa Adat Seraya di Kabupaten Karangasem, Bali, tak hanya memiliki tradisi gebug ende. Tradisi lainnya yang masih dilaksanakan secara turun-temurun oleh krama setempat adalah madewa ayu. Ketika madewa ayu dilaksanakan, sejumlah krama biasanya mengalami kerauhan atau trance lalu menusukkan keris ke tubuhnya. Di beberapa daerah lainnya di Bali, tradisi ini juga kerap disebut dengan istilah ngurek.

Bendesa Adat Seraya, I Made Salin menuturkan, tradisi medewa ayu dibedakan menjadi dua yaitu madewa ayu sumbu dan madewa ayu daratan atau narat. Tradisi tersebut dilaksanakan setiap upacara keagamaan di Pura Puseh maupun di merajan masing-masing rumah warga.

"Setelah selesai sembahyang di Pura Puseh maupun di merajan masing-masing rumah, pasti akan dilaksanakan madewa ayu," tutur Salin, Minggu (23/10/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salin menjelaskan, madewa ayu diawali dengan prosesi mesumbu. Prosesi ini dilaksanakan setelah selesai melakukan persembahyangan.

Saat mesumbu, sejumlah warga baik laki-laki maupun perempuan akan menari diiringi alunan gamelan dan dalam kondisi tidak sadar dengan mata terpejam. Selang beberapa menit kemudian, barulah dimulai prosesi madewa ayu daratan atau narat.

Krama di Desa Adat Seraya, Karangasem, Bali, mengikuti madewa ayu dalam kondisi trance atau tidak sadarkan diri.Krama di Desa Adat Seraya, Karangasem, Bali, mengikuti madewa ayu dalam kondisi trance atau tidak sadarkan diri. (Istimewa)

"Saat narat inilah biasanya masyarakat baik laki-laki maupun perempuan menggunakan kadutan (keris) dan menancapkan ke dadanya dengan sekencang-kencangnya. Kadang ada yang menggunakan dua keris sekaligus," kata Salin.

Salin menjelaskan, tidak semua krama yang awalnya mengikuti prosesi madewa ayu sumbu selanjutnya ikut narat. Kadang, ada juga yang tidak ikut mesumbu tapi tiba-tiba kerahunan dan mengikuti narat.

Selain itu, kadutan atau keris yang digunakan untuk narat juga tidak sembarangan. Keris tersebut sebelumnya diupacarai agar bisa digunakan untuk madewa ayu daratan atau narat.

Ada sejumlah pantangan yang perlu diperhatikan krama yang mengikuti madewa ayu daratan. Termasuk di antaranya kadutan tidak boleh ditancapkan ke tanah. Selanjutnya kadutan juga tidak boleh berbenturan dengan kadutan lainnya. Akibatnya akan fatal jika pantangan tersebut diabaikan.

"Jika salah satu pantangan tersebut dilanggar maka yang melakukan madewa ayu daratan atau narat akan mendapatkan kefatalan yaitu dada terasa sakit, mengalami luka, dan bisa juga menyebabkan meninggal dunia," kata Salin.

Itulah sebabnya, para prajuru yang tidak ikut narat biasanya fokus memperhatikan warga yang ikut medaratan. Prajuru akan sigap menyambar dan mengamankan keris agar tidak digunakan lagi jika seandainya kadutan tersebut jatuh.

Krama yang masih tak sadarkan diri usai madewa ayu selanjutnya diperciki tirtha atau air suci oleh Jro Mangku setempat. Bahkan, terkadang warga yang kerauhan disiram tirtha agar benar-benar sadar sepenuhnya.




(iws/hsa)

Hide Ads