Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian KLHK) Alue Dohong menyebut bencana alam yang terjadi di Bali pada akhir tahun lalu karena perubahan iklim.
"Memang, salah satu juga kejadian bencana hidrometeorologi yang sering terjadi di Bali, juga di Indonesia, bahkan di belahan dunia lain, diasosiasikan dengan perubahan iklim," ujarnya dalam konferensi pers Global Enviromental Facility (GEF) ke-8 di Badung, Senin (16/01/2023).
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pemerintah menawarkan solusi untuk mencegah bencana serupa tidak terjadi di masa mendatang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yakni, menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan menambah ketersediaan ruang terbuka hijau, baik di wilayah hutan maupun kawasan non-hutan.
"Jadi ruang-ruang terbuka hijau di perkotaan di Bali, misalnya harus kita perbanyak. Kita tanam tumbuhan, baik florestik maupun tanaman kayu dan sebagainya dalam rangka memperkuat ketahanan kita terhadap perubahan iklim dan ketahanan menghadapi bencana ini," ungkapnya.
Alue juga mengaku memperkuat coaster protection (pertahanan pesisir pantai) menjadi salah satu fokus utama. Ia menyebut penanaman bibit mangrove saat gelaran G20 pada November 2022 lalu merupakan contoh penguatan coaster protection.
"Coaster protection, seperti mangrove ini sangat penting, tidak hanya menyerap karbon, mencegah intrusi air laut, mencegah pemurnian dari racun, tapi juga secara ekosistem saya sering menyatakan sebagai ecological defense system kita," tuturnya.
Pemerintah, ia mengklaim sudah menggaet pihak eksternal dalam rangka menjaga ketahanan terhadap bencana termasuk menerima pasokan dana hibah dari Global Environment Facility (GEF).
"Di GEF ke-8 ini kita menerima US$103,65 juta dan itu merupakan start alocation (alokasi awal) terbesar di dunia untuk siklus GEF. Artinya, negara lain masih di bawah itu," tandasnya.
(BIR/hsa)