Sejarah-Keunikan Gereja Palasari Jembrana yang Kental Adat Bali

Jembrana

Sejarah-Keunikan Gereja Palasari Jembrana yang Kental Adat Bali

tim detikBali - detikBali
Sabtu, 24 Des 2022 15:28 WIB
Gereja Palasari Bali
Gereja Hati Kudus Yesus Palasari, Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Jembrana, Bali. Foto: Dhianna Puspitasari/d'TravelerΒ 
Jembrana -

Gereja Hati Kudus Yesus Palasari, Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Jembrana, Bali, ialah gereja tertua di Bali Barat. Gereja di atas lahan 3 hektare ini, peninggalan kolonial.

Gereja yang telah diinventarisasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali ini, dibangun sebelum Kemerdekaan RI tahun 1936. Arsitekturnya seperti bangunan kolonial abad XIX-XX.

Gereja Palasari dirintis keturunan Belanda, Pastor Pastor Simon Buis SDV. Tahun 1940, Raja Jembrana memberikan tanah kepada 24 orang dari Tuka, Denpasar, dan Beringkit, untuk bermukim dan mengajarkan agama Katolik. Namun hanya 18 orang yang bertahan di sana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 1947, posisi gereja pertama dipindahkan ke arah utara sekitar 1 kilometer, tepat di lokasi gereja sekarang berdiri. Pembangunan gereja secara permanen dimulai tahun 1955.

Desain bangunan dirancang arsitek berkebangsaan Belanda bernama Bruger Ign. AMD Vrieze SVD. Kemudian diresmikan tahun 1958 oleh Mgr. Albers,O.carm, seorang uskup dari Malang.

ADVERTISEMENT

Keunikan Gereja Palasari

Meski secara geografis berada di Desa Ekasari yang mayoritas umat Hindu, namun toleransi dan kerukunan antar umat beragama selalu terjaga. Keunikan lainnya, gereja ini kental dengan adat dan budaya Bali.

Dewan Pastoral Paroki (DPP) Gereja HKY Palasari I Nyoman Sugiri menjelaskan, paroki Gereja Palasari masih mempertahankan bahasa dan penggunaan nama asli Bali. Keunikan lainnya, seluruh umat memakai pakaian adat Bali setiap hari raya.

Setiap Sabtu Paskah juga, para krama menggunakan pakaian adat Bali. "Karena kami memang orang Bali, leluhur kami orang Bali. Kami mempertahan adat Bali tersebut sampai saat ini," ungkapnya kepada detikBali, Sabtu (16/4/2022).

Kemudian secara tradisi perayaan hari raya tetap menggunakan penjor dalam arti secara umum. Di dalam gereja juga masih menggunakan gebogan, di mana makna dan tujuan tersebut untuk bisa selalu ajeg.

"Itu pesan penglingsir (leluhur) kami. Dan sampai saat ini hidup rukun dan harmonis, tidak pernah ada permasalahan. Semoga kerukunan dan keamanan tetap terjaga. Kami ke depannya masih ingin berbagai bersama saudara saudara antar agama," paparnya.




(irb/hsa)

Hide Ads