Kisah Bali Reptile Rescue Menengahi Konflik Ular-Manusia

Kisah Bali Reptile Rescue Menengahi Konflik Ular-Manusia

Chairul Amri Simabur - detikBali
Minggu, 13 Nov 2022 22:40 WIB
Proses evakuasi ular kobra yang berdekatan dengan wilayah pemukiman warga oleh Bali Reptile Rescue di wilayah Tabanan. (istimewa)
Proses evakuasi ular kobra yang berdekatan dengan wilayah pemukiman warga oleh Bali Reptile Rescue di wilayah Tabanan. (istimewa)
Tabanan -

Bali Reptile Rescue kerap dilibatkan dalam proses evakuasi berbagai jenis ular yang muncul di wilayah pemukiman warga. Mulai dari jenis sanca hingga kobra. Kabupaten Tabanan menjadi salah satu daerah jelajah Bali Reptile Rescue dalam menengahi konflik antara ular dan manusia yang terjadi akibat alih fungsi lahan serta ketidakseimbangan ekosistem dan rantai makanan.

"Bali Reptile Rescue sudah berdiri sejak 2003 lalu. Tapi kami resmi menjadi anak asuh atau mitra BKSDA sejak 2016 lalu," tutur Ketua Bali Reptile Rescue, I Kadek Adi Saputra, Minggu (13/11/2022).

Ia menyebutkan, Bali Reptile Rescue beranggotan delapan orang. Di luar itu, organisasi ini dibantu para relawan yang jumlahnya sekitar dua puluhan orang dan tersebar di beberapa kabupaten/kota di Bali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesuai namanya, Bali Reptile Rescue bertujuan untuk melakukan penyelamatan terhadap satwa reptil, khususnya ular, dan memindahkannya dari tempat kemunculannya di pemukiman warga. "Misalkan ada laporan dari warga, kami siap memindahkan ke tempat yang lebih aman," sebutnya.

Bali Reptile Rescue berpusat di Desa Gumbrih, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana dengan memanfaatkan lahan di tempat tinggal Adi Saputra. Di penangkaran sementara seluas sekitar tiga are itu, ular yang dievakuasi dari pemukiman warga akan diperiksa kondisi kesehatannya sebelum dilepasliarkan lagi.

ADVERTISEMENT

"Karena biasanya sebelum dievakuasi, ular-ular itu ada yang kena pukul, luka, atau cacat. Di depo kami periksa kondisinya. Kalau luka yang dirawat dulu," sebutnya.

Soal pelepasliaran, ia enggan menyebutkan ke mana saja. Yang jelas, pelepasliaran dilakukan di lokasi yang jauh dari pemukiman warga.

"Ini untuk menghindari konflik baru. Meski ular itu berbahaya, tapi kan tetap masuk ke dalam rantai makanan. Intinya, pelepasliaran kami lakukan jauh dari pemukiman warga," tegasnya.

Sering Berbagi Ilmu dengan Damkar

Adi Saputra menuturkan, aktivitas Bali Reptile Rescue terbantu oleh delapan orang anggota serta para relawan yang umumnya merupakan penghobi reptil atau yang lebih spesifiknya satwa ular.

Belakangan, Bali Reptile Rescue juga sering menjadi pihak diminta untuk membagikan ilmu mengenai cara aman mengevakuasi satwa ular oleh petugas petugas pemadam kebakaran di sejumlah kabupaten/kota di Bali. Meskipun pada ujung-ujungnya, ular yang dievakuasi nantinya ditangkar sementara di depo Desa Gumbrih.

"Mungkin tepatnya sharing ya. Berbagi ilmu. Baik yang bersumber dari alam atau literatur. Karena jenis ular itu kan berbeda-beda. Cara untuk menyelamatkannya juga berbeda," sebutnya.

Secara umum, sambung Adi Saputra, ada dua jenis ular yang hidup di alam bebas. Yakni ular berbisa dan ular yang tidak berbisa atau membelit.

"Ciri ular juga tidak bisa ditentukan secara kasat mata. Ada yang bentuk kepalanya segitiga, tapi belum tentu itu ular berbisa," jelasnya.

Dalam proses evakuasi, mengingat jarak dan masa kedaruratan, terkadang Bali Rescue akan meminta bantuan para relawan bila ada laporan dari warga. "Misalnya di Tabanan, kira-kira siapa relawan yang ada di wilayah tersebut, itu yang kami kontak," ungkapnya.

Ia menyebutkan, saat ini kobra paling sering teridentifikasi di Kabupaten Tabanan. "Untuk saat ini rekornya masih di Tabanan. Satu bulan ini sudah tiga ekor. Kebetulan sekarang ini musim bertelurnya," pungkasnya.

Halaman selanjutnya: Kampanyekan Keseimbangan Rantai Makanan...

Kampanyekan Keseimbangan Rantai Makanan

Bali Reptile Rescue membuat pengecualian bila ular yang dievakuasi berjenis kobra. Sebab evakuasi kobra memerlukan tingkat safety atau keamanan yang tinggi. Hasil evakuasi di tiap wilayah selanjutnya akan dievaluasi dan dijadikan sebagai bahan langkah antisipasi apa yang mesti dilakukan warga setempat.

Adi Saputra mengatakan, keberadaan ular di pemukiman warga tidak lepas dari perubahan ekosistem dan ketidakseimbangan rantai makanan. Ia mencontohkan dengan hasil evaluasi di Kecamatan Selemadeg Barat pada 2020 lalu.

"Dalam setahun, kami akan melakukan evaluasi terhadap catatan evakuasi kami. Di wilayah mana kemunculannya yang paling banyak. Misalnya di 2020, di kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan. Saat itu kami menemukan 40 sarang kobra dengan jumlah telur mencapai ratusan butir," sebutnya.

Dengan catatan itulah, pihaknya kemudian akan mengajak warga setempat untuk menjaga ekosistem dan keseimbangan rantai makanan dengan tidak melakukan perburuan liar.

"Kenapa banyak (ular) karena rantai makanannya putus. Populasi pemangsanya sedikit atau sudah tidak ada," sebutnya.

Terkadang kemunculan ular kobra maupun jenis lainnya juga disebabkan terjadinya banjir bandang dari bagian hulu seperti hutan. Sehingga ular terbawa arus air ke wilayah hilir.

Ia mencontohkan jenis kobra. Habitatnya banyak di kawasan hutan bambu yang berdekatan dengan sumber air. Di sana induk kobra akan bersarang dan bertelur. Tempat bersarang yang memperoleh pencahayaan matahari yang cukup juga akan membantu proses penetasan.

"Kenapa dekat sumber air, karena saat bersarang, selama tiga bulan induk kobra hanya akan minum air. Induk kobra tidak mengeram. Induk kobra hanya mengawasi sarang telurnya yang rata-rata berada di kedalaman 40 centimeter dan ditutupi daun-daun bambu yang kering," jelasnya.

Ukuran rata-rata induk kobra yang dievakuasi antara dua setengah sampai empat meter. Sementara telur yang turut dievakuasi bisa lebih dari 20 butir. Itu untuk induk ular kobra yang baru belajar bertelur.

"Sebetulnya proses evakuasi induk kobra cepat. Dari penangkapannya sampai dengan dimasukkan ke dalam karung. Yang lama itu observasinya. Karena kami juga harus menentukan suhu pada sarang tersebut," katanya.

Observasi itu, sambungnya, penting dilakukan untuk menjadi catatan pihaknya dan rekomendasi bagi warga setempat. "Anggap suhu pada sarang itu memadai untuk proses penetasan, itu menandakan sepanjang kawasan itu kemungkinan ada sarang lainnya," jelasnya.

Balik lagi ke soal rantai makanan, predator alami dari kobra adalah burung bubut atau di Bali disebut dengan kedis sawan hujan. Di alam bebas, burung ini kerap memakan telur kobra.

"Yang paling utama adalah biawak. Meskipun biawak juga belakangan ini kerap terlibat konflik dengan manusia di kawasan pemukiman," sebutnya.

Menariknya, meski kerap dilibatkan dalam proses evakuasi ular yang muncul di daerah pemukiman warga, aktivitas Bali Reptile Rescue bukannya tanpa duka. Sebab, organisasi ini berangkat dari hobi dan kecintaan pada reptil sehingga dukungan dana operasional terkadang menjadi kendala.

Kendala ini terkadang bisa teratasi oleh donasi dari warga yang meminta pertolongan. "Biasanya bule-bule. Habis evakuasi mereka memberi donasi. Mereka memahami risiko saat melakukan evakuasi," tuturnya.

Tidak hanya itu, terkadang mereka juga harus berhadapan dengan asumsi masyarakat saat melakukan evakuasi. "Pernah sekali waktu, kami dapat omongan. Katanya kami yang melepaskan, kami yang menangkap. Ya, bahasa-bahasa seperti ini sempat kami dengar," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(iws/dpra)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads